Senin, 23 November 2009

Panggung permainan politik SBY: Politik Pencitraan dan Korupsi

Tidak mengherankan memang jika semenjak menjadi presiden, jenderal bintang empat ini hanya mengandalkan kemampuan personalnya dalam membangun kekuatan politiknya. Image “personalnya” sanggup menjadi magnet bagi mayoritas pemilih Indonesia dalam dua kali pemilu (2004 dan 2009), bahkan sanggup menerangi pembesaran partainya, demokrat. Kesemuanya itu dibangun melalui politik pencitraan.



Politik Pencitraan

Meski dia adalah jenderal bintang empat, tetapi dia lebih menonjolkan dirinya sebagai seorang yang berpikiran cerdas, berwawasan luas, bijaksana, dan penuh perhitungan ilmiah, sesuai dengan kapabelitasnya sebagai seorang yang bergelar doktor kehormatan (honoris causa).

Di layar kaca, setiap penampilannya selalu memukau publik, bukan hanya orang awam tapi juga kalangan menengah ke atas, melalui gerakan mimik muka yang ekspresif, gerakan tangan dalam menekankan point pembicaraan, hingga tempo dan tekanan suara yang enak didengar orang-orang timur.

Dengan begitu, dia selalu berhasil menguasai keadaan; mengontrol emosi publik dan menggunakannya untuk menyerang lawan-lawan politik yang agressif. Dalam kultur timur—tepatnya Melayu, pesona petarung seperti ini memang nyaris sempurna, ketimbang petarung yang agressif, kasar, dan “maksain”.

Melihat fenomena ini, saya selalu senang untuk membandingkannya dengan presiden yang digelari si tangan besi, Margareth Thatcher. Selain sama-sama memiliki kecenderungan model kebijakan ekonomi yang anti buruh dan kaum miskin, keduanya juga sanggup mengubah personality mereka 180 derajat.

Sebelum memasuki pertarungan pemilu presiden, khalayak dan jurnalis mengenal Thatcher sebagai sosok perempuan keras, reaksioner, dan penuh kemewahan. Dia sendiri adalah istri seorang jutawan inggris. Dialah orang yang mencabut kebiasaan susu gratis untuk anak-anak sekolah dasar.

Ditangan seorang produser TV terkenal, Gordon Reece, Thatcher mulai berubah menjadi seorang yang berbicara lembut, aksen bicaranya sangat teratur, hingga akhirnya terpilih menjadi pemimpin kharismatik partai konservatif, partai Tory. Atas nasihat Reece, dia mulai mengubah potongan rambut, gaya berbusana, menggunakan sarung tangan, dan berjuang keras menurunkan nada dan tempo suaranya. Pemilih inggris memilih Margareth Thatcher, sang ibu rumah tangga superstar, menjadi perdana menteri pada tanggal 4 Mei 1979. Sejak itu, Reece selalu berada di belakangnya, sebagai penata “image” personalnya.

Thatcher melembagakan gaya politik baru dalam menjaga keseimbangan kekuasaannya. Pada masa awal pemerintahaannya, dia berusaha membangun dan menemukan pola komunikasi politik diluar keumumam atau kelaziman protokoler politik era rejim sebelumnya. Dia seolah-olah membawa tradisi berpolitik baru. Ketika kebijakannya diserang oposisi, dia segera mencuri start untuk menjelaskan panjang lebar di media TV dan cetak, khususnya mengenai ketidaktahuan oposisi akan ‘maksud baik” kebijakannya.

Dia sangat “licik” dalam memukul oposisi. Dengan dukungan kelas berkuasa inggris di tangannya, dia bisa mengontrol media dan menggunakannya untuk mendiskreditkan oposisi, idealisme, atau yang berbau “sosial/kerakyatan”. Gerakan buruh segera dituduh ditunggangi oleh komunisme, dan komunisme disamakan dengan ide ketinggalan jaman, kediktatoran, horror, dan berbagai ketakutan.

Dia juga tidak segan mengeritik pedas dan menjatuhkan kabinet dan bawahannya, meskipun ini sekedar sandiwara palsu untuk menarik simpati rakyat. Ia juga selalu “lihai” melimpahkan kesalahan dan kegagalan pada pejabat departemen di bawahnya, padahal dia sendiri adalah pihak yang bertanggung jawab. Ketika berdiskusi dan menarik solusi untuk mengatasi sebuah persoalan besar, dia tidak segan memanggil banyak pihak dan tim ahli di bidangnya. Namun, setelah proses diskusi, dia meluncurkan sendiri ide kelompok elit di dekatnya, sembari menyatakan bahwa itu bukan idenya.

Melihat Thatcher secara sekilas, saya langsung melihat bahwa bapak presiden kita kini sedang menjadikannya acuan, meskipun tidak langsung, atau setidaknya oleh penata gaya presiden saat ini. Memang betul, seperti dikatakan oleh Nunn, peneliti di departemen media, komunikasi, dan studi-studi budaya Middlesex University, bahwa konstruksi image di layar kaca sangat mempengaruhi fantasi-fantasi khalayak luas.

Korupsi dan Pertaruhan Image

Dalam kekisruhan politik akhir-akhir ini, terutama semenjak isu kriminalisasi menggoyang lembaga yang masih cukup kredibel, KPK, presiden SBY terlihat mau memilih berada di luar arena kekacauan tersebut. Ini jelas terlihat dan tersirat dalam pernyataannya, presiden memandang kasus KPK versus Polri (didukung kejaksaan dan Komisi III DPR) bukan dalam domain kewenangannya.

Hanya setelah publik bereaksi keras, presiden mulai memanggil sejumlah tokoh nasional dan intelektual paling berwibawa, untuk mendiskusikan metode penyelesaian masalah. Dari situ, lahirlah tim independen pencari fakta (Tim-8), sebuah jalan keluar paling aman dan tidak mengikis kredibiltas personal sang presiden.

Setelah tim-8 menjalankan pekerjannya; melakukan investigasi, menggali informasi, kajian, memanggil berbagai pihak terkait, dan akhirnya melahirkan rekomendasi, presiden malah bersikap “cuek-cuek” aja.

Hari ini (21/11/09), seperti yang dilangsir sejumlah media, presiden malah memanggil Kapolri dan kejagung untuk menanyakan pendapat dan kajian kedua institusi ini terhadap rekomendasi tim-8. Ini sangat aneh, sebab presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan malah bertindak ibarat “mediator” antara pihak-pihak bermasalah. Publik mengenal betul, bahwa Polri dan kejaksaan adalah dua pihak “tersangka” dalam kekisruhan hukum di tanah air.

Kenapa dia hanya kelihatan jadi mediator, bukankah dia presiden dan punya kewenangan berlebih. Belum lagi dia merupakan perpaduan jenderal bintang empat dan doktor, seharusnya memiliki ketegasan, ketelitian, kejelian, dan integritas untuk bertindak cepat.

Pertanyaanya; kenapa bisa begitu? Seperti juga gurunya Thatcher, presiden menghindarkan diri atau personalnya sebagai bagian atau salah satu subjek masalah. Isu kriminalisasi KPK hingga terbongkarnya rekaman percakapan memalukan Anggodo Widjoyo dan sejumlah pejabat penegak hukum adalah lumpur paling kotor dalam sejarah penegakan hukum Indonesia. Kalau presiden sampai ada di dalam sandiwara itu, maka politik pencitraannya akan ambruk seketika. Inilah point pertamanya.

Kedua, korupsi adalah moral paling bejat dan juga dikutuk oleh kapitalisme, terutama neoliberal. Oleh penganut neoliberal, moral paling bejat ini selalu dialamatkan untuk mendiskreditkan model-model ekonomi yang mengandalkan negara. Mereka segera menuduh rejim korup sebagai akibat pelibatan atau peran negara yang terlampau besar.

Pada kenyataannya, sejumlah rejim neoliberal diguncang korupsi sangat memalukan di mana-mana, termasuk di Indonesia. Di negeri ibu pertiwi ini, korupsi dan kejahatan ekonomi dibalutkan pada sebuah make-up penyelamatan ekonomi bernama bailout. Itulah skandal bank century, dimana pengikut paling setia dan kader terbaik neoliberal (Budiono dan Sri Mulyani) diduga tersangkut paut.

Bukankah dulu Sri Mulyani, ketika menjadi ekonom, menjadi pengeritik paling pedas terhadap pengelolaan ekonomi orde baru (kapitalisme kroni). Kini, dia sendiri berada dalam sandera kutukan itu sendiri.

Ini benar-benar pertaruhan citra. Dan pemerintahan bersih benar-benar merupakan make-up paling laris dari jualan SBY-Budiono dalam pemilu presiden lalu. Sekali pak presiden tersangkut dalam kekisruhan itu, maka bangunan politik pencitraan akan tergulung oleh tsunami ketidakpercayaan. Ibarat pemain film bertema religi; ketika kepergok melakukan perbuatan tidak senonoh (seks, judi, mabuk), maka nilai “personalnya” akan runtuh seketika.

Tidak ada komentar: