Minggu, 15 November 2009

GERAKAN MAHASISWA: (Sub-Political Movement dan Pilkada)

Pendahuluan

Selama ini gerakan mahasiswa terdikotomi antara dua paradigma dalam melakukan transformasi sistemik yang dalam perspektif gerakan mahasiswa hanya dengan transformasi sistemlah sebuah transformasi sosial dapat dilakukan, dua paradigma tersebut adalah pertama gerakan mahasiswa adalah gerakan moral yang mengedepankan nilai (value) sehingga gerakan mahasiswa tidak boleh terlibat dalam agenda kegiatan politik praksis apalagi sampai berafiliasi dengan partai politik sedangkan paradigma yang kedua adalah gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik ideal, dalam paradigma ini mahasiswa atau mereka yang tergabung dalam dunia gerakan mahasiswa tertentu harus masuk kedalam kantong-kantong partai-partai politik yang telah mengalami pembusukan untuk kemudian melakukan perubahan dari dalam.

Dewasa ini ternyata ada fenomena baru yang oleh Ulrich Beck disebut dengan sub-politik seperti Oxfam dan GreenPeace. Agenda gerakan mahasiswa dalam menyuarakan aspirasi rakyat dan fenomena sub-politik yang digambarkan oleh Ulrich Berck menjadi fenomena yang cukup menarik untuk telaah

Pembahasan

Pilkada merupakan sebuah moment yang sangat strategis dari berbagai pihak kepentingan untuk merealisasikan apa yang menjadi ide dan gagasannya terutama mereka yang berkecimpung di dunia politik praksis. Pilkada selama ini dimaknai sebagai ajang untuk memilih wakil rakyat untuk menyelenggarakan pemerintahan dalam konteksnya masing-masing merupakan sarana yang strategis untuk menyuarakan kepentingan rakyat. Pilkada merupakan sarana bagi rakyat untuk menentukan siapa pemimpin yang dianggap cukup capable untuk menjadi pemimpin nasional yang dalam hal ini lebih spesifik adalah kepala daerah.

Paling tidak ada beberapa hal dasar yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin pemerintahan, antara lain, pertama kemampuan memimpin, hal ini mutlak diperlukan karena sebagian besar elite partai politik kita ternyata meragukan sendiri kemampuannya dalam memimpin bangsa, menurut hasil survei LITBANG KOMPAS yang dipublikasikan pada hari Sabtu 19 April 2008 yang diikuti oleh responden yang terdiri dari ketua atau sekjen partai menunjukkan bahwa 45% meragukan kemampuannya sendiri dalam memimpim bangsa sedangkan hanya 35% yang merasa dirinya cukup pantas atau mampu untuk memimpin bangsa ini kedepan. Kedua kemampuan mengartikulasikan kepentingan rakyat, tugas utama dari pemimpin pemerintahan adalah untuk mengartikulasikan berbagai kepentingan rakyat sehingga sebuah masyarakat yang ideal mampu terwujud.

Sebenarnya inti dari permasalahan utamanya adalah banyak dari pemimpin negara tidak mengerti atau tidak mampu membaca dengan sekasama apa yang menjadi kebutuhan rakyatnya. dan yang terakhir, yang ketiga adalah sikap lebih mengutamakan kepentingan negara atau rakyat daripada kepentingan pribadi. Godaan ini yang paling berat seperti yang kita ketahui dan sudah menjadi rahasia umum bahwa sistem politik kita adalah high cost politic, sehingga tidak aneh dengan logika sederhana dengan adanya politik biaya tinggi mengharuskan barang siapa yang ingin menjadi wakil rakyat harus siap mengeluarkan meterial yang cukup tebal, sehingga tidak aneh menurut beberapa ahli sistem politik yang ada sekarang ini merupakan penyebab utama dari maraknya kasus KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) yang seolah-olah saat ini sudah mendarah daging bahkan ada yang sampai mengatakan KKN sudah menjadi bagian dari budaya kita karena saat ini perilaku tersebut tidak hanya dilakukan oleh kaum elite politik yang saat ini menjadi anggota dewan dan akses ke arah itu terbuka lebar akan tetapi perilaku ini sudah menjadi perilaku di setiap lapisan masyarakat mulai dari RT sampai dengan DPR. Dewasa ini ada isu-isu global yang cukup menarik perhatian kaum aktivis mulai dari global warming, krisis energi sampai dengan krisis ekonomi yang diikuti dengan krisis pangan.

Tiga Agenda Utama

Dari isu-isu global itu ternyata hampir semuanya bermasalah di indonesia. Isu global warming misalnya pasca berakhirnya konferensi internasional UNNHCR yang membahas isu pemanasan global yang berlangsung di Bali, ternyata beberapa saat kemudian pemerintah mengeluarkan kebijakan yang sangat tidak populis bahkan sangat ironis mengingat konferensi tentang Iklim tersebut berlangsung di Indonesia yaitu regulasi pemerintah yang berkenaan dengan dijualnya hutang Indonesia dengan harga Rp. 300,-/meter. Menurut survei dari LITBANG KOMPAS pada hari sabtu 19 April 2008 menunjukkan paling tidak ada tiga permasalahan utama yang dihadapi bangsa ini disemua level pemerintahan mulai dari pemerintahan pusat samapai dengan daerah yaitu politik, hukum kemudian yang ketiga adalah kemiskinan dan pengangguran.

Politik pada dasarnya dimaksudkan untuk membangun tatanan kehidupan bersama secara lebih modern. Maka hukum rimba, siapa kuat dia yang menang, atau siapa yang nekat dia yang berjaya, tidak bisa diberlakukan lagi. Terlebih tatanan tersebut diarahkan agar mereka yang dalam posisi lemah dan kalah tidak semakin tersingkir dan dimarginalisasi. Namun kenyataan berbicara lain. Politik sebagai suatu tatanan sosial memberi tempat bagi kenyamanan, bahkan juga keuntungan, bagi mereka yang berada dalam posisi menentukan. Maka kemudian aspek pelayanan bergeser pada arus
aspek pemanfaatan kuasa demi keuntungan.

Partai politik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam wacana atau diskursus mengenai pemilihan kepala pemerintahan. Partai politik merupakan sarana yang legal dalam menjaring wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga pemerintahan. Walaupun saat ini sudah digagas adanya calon independen dalam pemilihan kepala daerah hal tersebut tidak mengurangi sedikitpun eksistensi dari partai politik. Partai politik hanya menjadi alat bagi orang-orang yang tamak akan kekuasaan untuk memperoleh legitimasi dalam rangka menghegemoni dan melakukan penindasan yang sah secara struktural atas nama negara

Di Indonesia permasalahan independensi hukum menjadi momok yang sangat serius bagi para pejuang keadilan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di peradilan Indonesia mafia-mafia berkeliaran untuk menentukan hukum dengan gaya mereka sendiri yaitu siapa yang punya uang dia yang menang atau siapa yang punya kuasa dialah yang menentukan keadilan. Hukum di Indonesia merupakan barang yang sangat laku untuk diperjual-belikan seperti komoditas yang lain seperti kekuasaan misalnya. Beberapa besar kasus atau delik hukum yang terjadi di Indonesia yang berkategori kejahatan kemanusiaan pada jaman orde baru seperti Malari, pembantaian rakyat atas nama G30S/PKI yang diperkirakan korban minimal 80.000 orang sampai sekitar 300.000 orang, peristiwa Talangsari yang membakar ibu dan anak hidup-hidup, kasus Kedung Ombo, pembantaian di tanjung priok dll. Dalam kategori yang lain misalkan penghilangan paksa atas para aktivis-aktivis reformasi, peristiwa Semanggi dan yang terkhusus untuk Cak Munir, ya...munir.. siapaa yang tidak kenal munir, aktivis yang mati karena sebuah propaganda keji.

Ditengah karunia Allah SWT yang di anugerahi alam yang begitu melimpah ternyata tidak menjamin bahwa kita akan hidup dengan sejahtera. Seandainya kita menginteprestasikan teks alquran secara tekstual tentunya gambaran yang tepat untuk surga adalah bumi peritiwi ini.... ya.... Indonesia. Tetapi apa lacur karena ketidakcakapan dan tidak adanya politik keberpihakan pemerintah terhadap rakyat maka negeri yang melimpah ruah ini rakyatnya harus hidup dalam kemiskinan dan himpitan hutang haram yang tidak pernah mereka lakukan. Rakyat Papua yang kakinya menginjak emas akan tetapi kehidupan mereka dihancurkan dengan adanya PT. Freeport.

Gerakan Mahasiswa: Antara Politik Nilai dan Kekuasaan

Diskursus mengenai mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi pokok bahasan dalam berbagai kesempatan baik itu dalam forum-forum diskusi, temu ilmiah maupun seminar-seminar yang diadakan bahkan buku-buku yang mengupas mahasiswa dan kiprahnya terutama dalam konteks keperduliannya merespon masalah-masalah sosial politik yang berkembang ditengah masyarakat. Bahkan gerakan mahasiwa seolah-olat tidak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya depolitisasi yang dilakukan oleh para penguasa. Kehadiran mahasiswa sebagai perpanjangan aspirasi rakyat dalam situasi yang demikian sangat urgen dalam melakukan advoksi-advokasi atas konflik-konflik yang terjadi antara rakyat vis-a-vis penguasa seperti kasus Alas Tlogo di Jawa Timur dan lumpur Lapindo di Sidoarjo. Pada diri mahasiswa terdapat potensi-potensi yang dapat dikategorikan sebagai modernizing agent. Dalam kehidupan gerakan mahasiswa terdapat adagium patriotik misalkan ungkapan “mengungkap ketidakadilan dan mengoreksi kepemimpinan yang korup dan gagal” yang akan membangkitkan semangat dan militansi untuk senantiasa melakukan perlawanan-perlawanan atas ketidakadilan yang terjadi di tengah-tenah masyarakat

Agenda Politik Keberpihakan Mahasiswa Dalam Pilkada

Sebagai agen of sosial change, pemikiran-pemikiran harus senantiasa di upgrade untuk memberikan alaternatif-alternatif wacana kepada masyarakat dalam rangka mengurangi ataupun melakukan counter hegemoni dari penguasa yang mengatasnamakan negara. Sebagai agent of social change mahasiswa harus memiliki idiologi dan keberpihakan yang jelas, pola gerakan yang ditawarkan juga harus jelas. Selain itu seorang aktivis gerakan mahasiswa tidak boleh menjadi seorang yang oportunis yang selalu menggunakan kesempatan untuk keuntungan dirinya sendiri. Ketika diskursus mengenai pemilihan kepala daerah ataupun diskursus menganai politik maka satu kata yang pasti melintas dalam alam pikiran kita adalah kekuasaan. Tak ada politik yang tidak mengarah kepada kekuasaan. Dalam konteks ini gerakan mahasiwa terpolarisasi dalam dua paradigma utama yang pertama adalah gerakan mahasiswa adalah gerakan politik nilai/moral yang bertugas untuk melakukan counter kebijakan dengan seruan-seruan moral ataupun dengan diskursus yang mengangkat ide-ide normatif dalam menganalisis suatu regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah dan yang kedua adalah gerakan mahasiswa harus masuk kedalam sistem yang ada atau dengan kata lain gerakan politik kekuasaan seperti yang dulu di ungkapkan oleh Fadjroel Rahman bahwa gerakan mahasiwa harus berorientasi perebutan kekuasaan bilamana perlu mahasiswa membentuk partai politik mahasiwa sebagai wahana menyalurkan aspirasi politik mahasiswa.

Gerakan Mahasiswa Sebagai Value Political movement

Perbedaan jalan perjuangan entah itu lahir dari paradigma gerakan mahasiwa sebagai value political movement ataupun power political movement sebenarnya berakar dari permasalahan yang sama yaitu adanya rasa tanggung jawab terhadap kondisi bangsa yang tidak sesuai dengan harapan rakyat. Keduanya berasal dari hasrat yang sangat kuat untuk menyalurkan atau menyampaikan aspirasi kepada penguasa. Bagi mereka yang memilih bahwa gerakan mahasiswa adalah power political movement tidak bisa dengan begitu saja kita justifikasi bahwa mereka telah ditunggangi oleh suatu kepentingan tertentu.

Power political movement tidak boleh dijustifikasi sebagai golongan-golongan yang menjadi komprador kaum penguasa. Justru dengan politik kekuasaaan inilah mereka berusaha untuk melakukan tugasnya sebagai sosial control terhadap regulasi-regulasi yang dikeluarkan oleh wakil rakyat dalam partai yang dulu mereka pilih itu. Sedangkan bagi mereka yang memilih value political movement banyak agenda pragmatis yang bisa dilakukan terutama terkait dengan pendidikan politik kepada internal organisasi maupun kepada pihak eksternal yaitu masyarakat misalkan; pertama, membuat kesepakatan internal untuk tidak melibatkan lembaga OKP dan kemahasiswaan dalam politik praktis, kedua, memberikan penegasan kepada top leader institusi berdiri netral bagi semua calon dalam pilkada kabupaten/kota dan provinsi, ketiga, menempatkan para pengurus lembaga OKP dan kemahasiswaan sebagai jembatan komunikasi politik yang "tertahan" antar-calon, antar-tim sukses, dan antar-massa politik, baik secara internal atau eksternal. keempat, bila memungkinkan tenaga dan dana diperlukan OKP dan lembaga kemahasiswaan memantau jalannya proses pilkada, kelima, memotori diadakannya debat visi dan misi calon kepala dan wakil kepala daerah di hadapan publik, keenam, secara rutin melakukan seruan moral untuk tidak saling mencederai dan tidak melakukan character assassination (pembunuhan karakter) dalam pilkada dan lain-lain. Berbagai agenda praksis dalam rangka melakukan pendidikan politik kepada masyarakat sangat penting untuk dilakukan sehingga rakyat tidak menjadi komoditas politik an sich, yang dilemparkan kesana-kemari oleh elite-elite politik.

Kesimpulan

Dalam budaya politik yang bersifat patrimonialistik menurut Weber memiliki karakteristik yakni pertama, kecenderungan untuk mempertukarkan sumber daya yang dimiliki penguasa kepada teman-temannya. Kedua, kebijaksanaan seringkali lebih bersifat partikularistik daripada bersifat universalistik. Ketiga, rule of law merupakan sesuatu yang sifatnya sekunder bila dibandingkan dengan kekuasaan dari seorang penguasa (Afan Gaffar,1999).

Adalah memang masih sulit mengeliminasi apalagi ‘membunuh’ budaya politik masyarakat yang sudah tersosialisasi dalam waktu lama. Sebab pembentukan norma atau nilai politik masyarakat melalui apa yang disebut dengan sosialisasi politik yaitu, proses pewarisan nilai, norma dan keyakinan dari satu generasi ke generasi berikutnya, telah menembus sampai ke ‘pembuluh darah’. Dengan kata lain, pemupukan dan distribusi nilai yang terpelihara secara sistematis oleh dukungan birokrasi pemerintahan pada masa Orde Baru, membuat model politik patrimonialisme, itu sulit terkikis habis dengan cepat.

Dalam bidang politik peranan kaum mahasiswa yang tergabung dalam organisasi kepemudaan atau organisasi mahasiswa bagi mereka yang masih percaya bahwa politik praksis merupakan sarana untuk mencapai atau mewujudkan apa yang menjadi mimpi masyarakat maka kaum muda harus melakukan konsolidasi-konsolidasi gerakan untuk melakukan pendidikan politik sehingga suatu saat nanti masyarkat akan mampu membaca depolitisasi yang dilakukan penguasa kepada dirinya sehingga otokritik akan spontan dilakukan oleh masyarakat secara real time.

Bagi sebagian organ gerakan mahasiwa yang sudah tidak percaya dengan demokrasi dan pemilihan umum hendaknya tidak bersikap apatis akan tetapi dapat melakukan gerakan-gerakan alternative dalam rangka melakukan counter regulasi sebagai alat penekan kepada penguasa. Fenomena yang dilihat oleh Ulrich Berk tentang gerakan Sub-Politik sangat menarik ketika dikomparasikan sebagai alat penekan baru kepada penguasa. Ulrich Berk berbicara tentang “Sub-Politik” yaitu politik yang menjauhi parlemen dan menuju kelompok-kelompok dengan isu tunggal dalam masyarakat.

Gerakan, kelompok dan organisasi non-pemerintah baru seperti ini dengan demikian mengencangkan otot mereka dalam pentas global seperti greenpeace yang mau tidak mau korporasi global pun akan memperhatikannya

Terakhir, mahasiswa sebagai pelopor geerakan rakyat harus mampu selalu membaca kondisi kekinian masyarakat dan mencari alternative-alternatif gerakan dalam rangka advokasi kebijakan public yang tidak populis sehingga rakyat yang sudah berjalan di trotoar tidak termarginalkan lebih jauh lagi.

Referensi:
Suara Keadilan edisi agustus 2004
Bulletin “kontras” edisi…. Tahun 2004
Giddens, Anthony. The Third Way “ Jalan Ketiga pembaruan demokrasi social”, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta; 1999
Raillon, Francois. Politik dan Idiologi Mahasiswa Indonesia; LP3ES, Jakarta 1985
Media Indonesia online
http://www.indomedia.com

Tidak ada komentar: