Selasa, 17 November 2009

Kejahatan Korporasi Dalam Skandal Kolektive "Gempa Century"

Gempa century, yang kekuatannya tidak bisa diukur dengan skala richter, telah mengguncang perekonomian Indonesia, khususnya sektor perbankan. Bila gempa bumi berkekuatan 7,6 skala richter menyebabkan kerugian sebesar Rp2,031 triliun, maka gempa century menyebabkan 6,7 triliun uang rakyat menghilang entah kemana.

Meskipun membawa dampak mengerikan, gempa century belum mendapat penanganan sebagaimana mestinya, bahkan terkesan dimandekkan. Menurut isu yang beredar luas, gempa century melibatkan sejumlah nama pejabat penting di pemerintahan. Sehingga, apabila gempa century ini diungkit-ungkit, maka dapat menyebabkan sunami politik yang maha besar.

Di Bawah Permukaan

Sejak mencuatnya kasus ini, pemerintah berupaya melokalisir dan menutupi kasus ini di tingkat permukaan. Kejadian gempa bumi di sejumlah wilayah Indonesia, khususnya jabar dan sumut, yang menyedot begitu besar perhatian publik, menyebabkan perhatian terhadap kasus ini juga mengecil.

Lebih jauh, lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diharapkan membuat gebrakan, justru sedang berhadapan dengan sandiwara "kriminalisasi". Selain dijerat dengan beraneka tuduhan yang tidak terbuktikan, KPK juga diperhadapkan dengan pelucutan wewenang di dalam UU Tipikor yang baru.

Sementara itu, DPR yang diharapkan bersuara keras dan riuh mengenai persoalan ini, dalam periode mendatang, akan diisi oleh partai-partai yang sebarisan dengan pemerintah. Akibatnya, parlemen akan berjalan menurut kepentingan koalisi, dan menggelar aksi "tutup mulut" terhadap segala keputusan pemerintah, termasuk mengubur kasus century.

Dengan begitu, isu century akan terpendam sebagai persoalan diagnosis penyelesaian krisis yang salah dosis, sementara persoalan criminal dan skandal politisnya akan tertutup rapat di dalam peti "pengalihan isu". Jika perdebatan diagnosis penyelesaian krisis ekonomi yang mengemuka, maka ujung-ujungnya adalah "pemaafan" atau pembiaran.

Sementara persoalan kriminalnya, kendati melibatkan begitu banyak pejabat politik dan tokoh penting pemerintahan, termasuk menkeu, Sri Mulyani, dan wakil presiden, Budiono, hanya akan berhenti pada penangkapan pejabat rendahan.

Kejahatan Ekonomi

Gempa century telah membuka kedok beberapa bandit di bidang ekonomi, yang mengeruk keuntungan luar biasa dari hasil persekongkolannya dengan pejabat pemerintah, khususnya pengambil keputusan ekonomi.

Kejadian ini, yang juga terjadi di belahan dunia kapitalis yang jauh lebih maju, seperti di wall street sana, adalah kecenderungan utama dalam dinamika sistim kapitalisme itu sendiri. Mantra-mantra "good governance" maupun "perang melawan moral hazard", kini tidak mampu lagi mengantisipasi perilaku menyimpang dari korporasi, yang memang dimungkinkan dan difasilitasi oleh sistim kapitalisme itu sendiri.

Dalam neraca rugi-laba, keuntungan harus lebih besar daripada komponen biaya. Ini kenyataan terdengar sederhana tapi berat. Kenyataan ini kemudian memunculkan penyimpangan, antara lain teknik akutansi "kemitraan"-nya Andrew Faston, eksekutif financial enron, yang sebenarnya merupakan mekanisme untuk menyingkirkan biaya dan utang dari neraca. Ada lagi penyimpangan model lain, seperti yang dilakukan oleh world[dot]com, yaitu menyamarkan biaya sebagai investasi.

Ada lagi yang lebih kasar, seperti penipuan yang dilakukan Bernard Madoff, pemilik lembaga investasi Bernard L. Madoff Investments Securities LLC, yang menggelapkan uang sebesar 550 miliar US dollar. Disamping itu, beberapa deretan kejadian serupa juga bermunculan; raibnya miliaran dolar dari Stanford International Bank di Antigua, perusahaan Sunwest yang menggelapkan dana sebesar 300 juta dollar, dan sebagainya.

Dalam kasus century, seperti yang berulangkali ditegaskan bapak Yusuf Kalla, adalah sebuah kejahatan ekonomi yang dilakukan oleh pemiliknya sendiri, dan sudah diketahui sejak lama oleh pihak pengawas perbankan, bank Indonesia (BI). Sehingga, siapapun yang merestui pemberian dana talangan Rp6,7 miliar kepada bank ini, sebetulnya sudah masuk dalam persekongkolan criminal.

Kebijakan neoliberalisme dikawal oleh kebijakan deregulasi dan pemanjaan terhadap sektor privat (baca, swasta). Dengan begitu, praktek-praktek tersebut, mengutip Walden Bello, akan mengikis pemisah yang disebut "dinding api" (Firewalls) antara pejabat korporasi dengan pejabat politik, antara auditor dengan yang diaudit, antara analis saham dengan pialang saham, dan sebagainya. Tidak ada lagi pemisah antara moral penjahat dan pejabat penegak hukum, antara mafia dan politisi.

Potensi "Erupsi"

Kejahatan yang disimpang di bawah permukaan, mirip dengan magma yang dibiarkan terpendam di bawah perut bumi. Dan semakin banyak magma yang terkonsentrasi dan terakumulasi, maka akan mendorong terjadinya "erupsi".

Meskipun untuk sementara waktu SBY berhasil menutupi kasus ini, dan seolah-olah dia sukses melindungi orang-orang terbaiknya, tetapi ini hanya menciptakan keretakan. Pertama, kejadian ini tetap menandai sebuah perampokan uang rakyat secara besar-besaran, bahkan dilakukan dibawah panji-panji pemerintah bersih dan professional. Ini adalah kejahatan ekonomi yang melibatkan sejumlah pejabat politik di bidang ekonomi, yaitu mereka-mereka yang selama ini dianggap bersih. Dengan kejadian ini, tidak ada lagi batas terakhir "kredibilitas politik" untuk lima tahun pemerintahan SBY-Budiono mendatang.

Kedua, pemenjaraan atau kriminalisasi terhadap pejabat KPK, dan upaya untuk memandulkan wewenang dan fungsi lembaga ini, telah mengikis kepercayaan publik terhadap "kebersihan" pemerintahan SBY di masa mendatang. Padahal, persoalan pemberantasan korupsi merupakan jualan utama SBY selama ini, terutama untuk mengikat dukungan kelas menengah dan kalangan atas masyarakat kita.

Akhirnya, dengan menipisnya kredibilitas politik pemerintahan ini, yang tentunya menggenapi kegagalan pemerintahan ini dibidang ekonomi sebelumnya, akan membawa pemerintahan ini dalam situasi yang sangat rawan "erupsi" krisis politik.

Pertanyaanya kemudian; apakah erupsi politik yang terjadi ini berupa letupan (explosive), ataukah berbentuk lelehan (kompromi politik).

Tidak ada komentar: