Senin, 19 Januari 2009

Aktivis Musiman

Menarik membaca tulisan M Jais Rambong (MJR) dengan judul ”Mempertanyakan Peran Mahasiswa” di Opini Serambi Indonesia, (4/7/07). Sebagai mahasiswa mungkin MJR telah mengalami apa yang diungkapkannya. Di satu sisi mahasiswa harus berperan sebagai agen perubahan, namun disisi lain mahasiswa harus berhadapan dengan sistem akademik yang lebih mementingkan target ketimbang peran dan kualitas mahasiswanya. Ditambah lagi mahasiswa harus mempertanggung jawabkan kegiatan kuliah kepada orang tuanya.

Namun ungkapan JRM, bahwa mahasiswa sekarang telah disibukkan oleh kemodernan zaman, seperti berceria diwarung kopi, Cafe-cafe dan berleha-leha di jalan-jalan merupakan realitas yang harus diakui. Maka tidak mengherankan bila mahasiswa sebagai kaum intelektual yang punya tanggung jawab kepada masyarakat dan bangsa berubah menjadi kaum oportunis yang hanya memikirkan kepentingan dirinya saja.

Sebenarnya banyak peran yang dapat dimainkan oleh mahasiswa sebagai kaum Intelektual serta yang bertanggungjawab kepada masyarakat?. Terutama memperjelas tujuannya kuliah. Apakah kuliah hanya untuk mencari kerja atau mencari ilmu?. Mungkinkah mahasiswa ”Belajar sambil berjuang dan berjuang sambil belajar” seperti terukir di Tugu Simpang Mesra?.

Pada dasarnya peran yang harus dimainkan oleh mahasiswa adalah kembali kepada Tri Darma Perguruan Tinggi (TDPT). Yaitu, Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian. Tetapi selama ini ada kesalahan dalam memahami TDPT. Banyak mahasiswa memahami TDPT secara hirarki bukan secara universal.

Bila TDPT di pahami secara hirarki, maka otomatis mahasiswa hanya berkewajiban untuk menyelesaikan pendidikan dulu di Perguruan Tinggi (PT), setelah itu baru berpindah ke level kedua yaitu Penelitian. Sedangkan Pengabdian dianggap sebagai level terakhir setelah mereka selesai kuliah.

Padahal pengabdian tidak harus menunggu selesai kuliah. Membela dan memperjuangankan kepentingan rakyat ketika masih kuliah, juga bagian dari pengabdian. Jadi pengabdian bukan hanya mengajar seperti Guru atau bekerja di kantor pemerintah saja. Tetapi terlibat dalam kegiatan yang bermanfaat bagi kepentingan umum, juga bagian dari pengabdian.

Karena tuntutan akademik pula, banyak mahasiswa kadang malas berorganisasi. Bila berorganisasi mereka takut terganggu kuliahnya. Padahal di organisasi, kesempatan untuk mengabdi sangat terbuka. Tidak mengherankan bila yang sibuk di organisasi secara penuh berakibat terlambat selesai kuliah. Ada juga yang mampu menyelesaikan kuliah sesuai dengan target. Namun semua itu sangat tergantung dalam pengaturan waktu.

Walaupun demikian, kualitas mahasiswa yang berorganisasi jauh lebih baik bila dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak berorganisasi. Karena mahasiswa yang berorganisasi, mereka mendapatkan ilmu lebih di organisasi. Banyak hal yang dipelajari di organisasi tetapi tidak didapatkan dibangku kuliah. Disinilah letak kelebihannya.

Banyak pula mahasiswa yang aktif di organisasi tetapi kurang mendapat perhatian dari pihak Fakultas maupun Universitas. Misalnya, ketika mengikuti kegiatan organisasi keluar daerah, mahasiswa dengan bangga membawa nama Fakultas, Universitas dan Daerah.

Tetapi ketika kembali ke Fakultas, ternyata Dosen tidak memberi konpensasi selama mengikuti kegiatan tersebut. Padahal mahasiswa membawa nama Fakultas, Universitas dan Daerah. Hal seperti itu sering dialami sejumlah mahasiswa.

Seharusnya ada perhatian terhadap mahasiswa yang ikut kegiatan kemahasiswaan di luar daerah. Karena mereka pergi mewakili Fakultas, Universitas dan Daerahnya. Jadi sangat pantas di beri konpensasi. Bukan justru dipersulit dan disalahkan gara-gara mengikuti kegiatan tersebut.

Namun sangat berbeda ketika Dosen nyambi di luar (meminjam istilah MJR). Dengan mudahnya kegiatan kuliah ditiadakan atau diberi tugas membuat makalah, Paper dan Resume. Dosen tinggal bilang, ”Ini buku wajibnya, pindahkan isi buku kedalam bentuk Makalah, Paper atau Resume”. Suatu perintah yang sangat gampang di ucapkan tetapi sangat membosankan bagi mahasiswa, karena hanya bertugas untuk memindahkan saja.

Aktivis Musiman

Ungkapan ”Aktivis musiman”, terinspirasi dari tulisan Eep Saifullah Fatah tentang ”Oposisi Musiman” di salah satu media nasional. Istilah Oposisi Musiman, muncul sebagai tanggapan atas pro-kontra hak interpelasi di DPR RI.

Namun dalam dunia pergerakan mahasiwa dan berbagai aktivis saat ini. Ada kebiasaan baru dalam memulai aksinya. Seperti peringatan hari buruh, lingkungan hidup, Pendidikan, HAM, AIDS dan lain-lain. Ketika memperingati momentum-momentum tersebut, berbagai aktivis turun kejalan mengelar berbagai aksi. Habis momentum pudarlah aksi dan realisasinya.

Padahal pergerakan mahasiswa tidak hanya sebatas itu. Aktivis mahasiswa dan aktivis lain perlu menempatkan posisinya sebagai pengontrol dalam berbagai persoalan. Agar setiap kebijakan pemerintah tidak merugikan kepentingan umum. Peran yang berkelanjutan menjadi bukti, bahwa peran kontrol mahasiswa masih aktif.

Kalangan aktivis perlu mengawasi tindakan perusakan hutan setiap waktu, tidak harus menunggu hari lingkungan hidup atau peringatan hari-hari yang lain. Karena fungsi sosial kontrol tidak mengenal momentum. Kapanpun ada ketidakberesan maka fungsi tersebut bekerja secara cepat.

Kebiasaan ini bukan hanya terjadi dikalangan aktivis tetapi sudah menjadi tradisi di Pemerintahan. Lihat saja ketika hari lingkungan hidup, semua kantor dinas dihiasi dengan spanduk tentang lingkungan hidup. Mulai Presiden sampai camat, ikut mencanangkan penghijaun dengan ribuan pohon. Selesai serimonial, besok atau lusa giliran kambing atau lembu yang memakan tanaman tersebut. Karena kegiatan penghijaun hanya sebatas seremonial tahunan saja, ia tidak berlanjut sampai membuahkan hasil yang bermanfaat.

Padahal banyak hal yang memerlukan peran mahasiswa di dalamnya. Sebut saja dengan tugas rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Mahasiswa perlu mengawasi agar rekonstrusi tidak menjadi lahan memperkaya diri. Tidak perlu menunggu momentum tsunami atau ulang tahun BRR.

Kedepan mahasiswa perlu berperan lebih banyak lagi dalam berbagai persoalan. Fungsi kontrol perlu menjadi seragam harian mahasiswa dan para aktivis lainnya. Bukan seragam musiman. Jika hanya sebatas seragam musiman, berarti mahasiswa dan aktivis lainnya sama saja dengan aktivis musiman. Karena peran mahasiswa sangat diharapkan oleh masyarakat. Masa depan negeri ini sangat membutuhkan keterlibatan mahasiswa dengan pemikiran cemerlangnya dan aksi-aksi yang sesuai dengan aturan.***

Tidak ada komentar: