Senin, 26 Januari 2009

Demokrasi yang sakit

Hampir tidak mungkin berharap mencuci bersih dengan air yang kotor. Dalam istilah berbeda, analogi ini mirip dengan hubungan antara sapu dan lantai. Seperti yang terjadi pada proses seleksi pimpinan KPK jilid II baru-baru ini. Beberapa saat menjelang hari anti korupsi sedunia, Lembaga anti korupsi ini dibajak sedemikian rupa oleh sekelompok mafia yang ditengarai terdiri dari para koruptor, partai politik dan bahkan negarawan.

Kenyataan terpilihnya Antasari Azhar ditengah penolakan yang sangat keras dari kelompok masyarakat semakin membuktikan, bahwa beberapa anggota Komisi III DPR benar-benar tidak dapat dipercaya. Hal ini bukan catatan pertama tentang oportunisme politik sempit para anggota dewan yang terhormat. Rekayasa-rekayasa, lobi politik, dan dugaan suap mengalir justru lebih besar pada lembaga terhormat ini.

Secara sederhana rakyat dengan mudah dapat melihat gejala kronik keruntuhan moralitas dan komtimen kebangsaan di tubuh masing-masing anggota Komisi III DPR-RI. Meskipun bukan berarti vonis bersalah kita tudingkan secara membabibuta terhadap semua wakil rakyat yang seringkali tidur atau mangkir saat harus mengambil kebijakan strategis demi kepentingan rakyat. Namun, rentetan fakta berbicara, sejarah mencatat, Komisi III DPR telah mengkhianati semangat anti korupsi yang telah mulai dibangun. KPK dibajak hanya untuk kepentingan sekelompok elit partai berkuasa, atau semacam investasi politik yang koruptif. Hingga, setidaknya 4 tahun ke depan, beberapa kalangan tidak perlu takut dijerat hukum ketika melakukan korupsi.

Demokrasi yang sakit

Salah satu pemicu drama tragis pemilihan pimpinan KPK Jilid II ini adalah ketika demokrasi disimplifikasi hanya pada suara terbanyak tanpa menginternalisasikan nilai, tanggungjawab, moralitas dan sensitivitas terhadap semangat perlawanan korupsi. Bagaimana mungkin, seorang calon yang disorot sedemikian rupa, gagal mengeksekusi Tommy Soeharto, melanggar undang-undang & “bekerjasama” dengan koruptor yang telah diputus berdasarkan kekuatan hukum tetap (kasus 33 anggota DPRD Sumbar), diduga menerima gratifikasi dan suap, bahkan pernah mencoba menyuap wartawan, ternyata tetap dipilih dengan suara 37 (tertinggi kedua dari semua calon), hingga akhirnya dinobatkan pada kursi Ketua KPK periode 2007-20011? Di titik inilah, semua logika dan akal sehat runtuh di tangan tirani mayoritas melalui persekongkolan para bandit.

Atau, kalaupun benar, DPR tidak terlalu percaya dengan hasil rekam jejak calon yang dilaporkan oleh ICW bersama Koalisi Pemantau Peradilan (KPP), jika komitmen dan rasa tanggungjawab dengan tugas kenegaraan yang dipikulnya benar-benar ada, tentu seharusnya DPR berupaya maksimal untuk melakukan penelusuran sendiri di lapangan. Dan, kenyataannya hal tersebut tidak dilakukan, bahkan mencermati pertanyaan yang diajukan pada Fit & Proper Test di Komisi III DPR, alih-alih mengajukan pertanyaan investigatif, proses wawancara justru kental dengan ritual dagelan dan cemooh politik. Degradasi moralitas seperti inilah yang semakin meruntuhkan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia.

Dalam pemilihan yang dimulai pukul 19.42 Rabu malam (5/12), 49 anggota komisi hukum itu harus memilih lima nama dengan cara melingkari lima nama yang tercetak dalam selembar kertas. Advokat Chandra M. Hamzah meraih 44 suara. Di urutan kedua adalah Direktur Penuntutan pada Jaksa Muda Pidana Umum Antasari Azhar dengan perolehan 37 suara, Ketiga, Bibit Samad (Kepolisian), Keempat, Haryono (BPKP), dan Kelima M. Jasin (KPK). Yang mengenaskan, calon yang dinilai mempunyai kapabilitas, kompetensi teruji serta menempati urutan teratas pada tes profile assesment Pansel justru mendapat sisa-sisa suara, seperti Amien Sunaryadi, Surachmin, dan Iskandar Sonhadji.

Praktek pengkooptasian & pembajakan seperti ini terjadi karena ketidakjelasan standar sementara kewenangan DPR begitu besar. Hal tersebut menjadi penting dikritisi karena kesadaran individual, moralitas dan etika anggota DPR kita ternyata teruji tidak cukup baik. Sehingga, ke depan konsep dan ide proses seleksi lembaga negara non-politis yang melibatkan DPR patut ditinjau ulang. Karena sangat rentan masuk pada wilayah konflik kepentingan, khususnya di bidang penegakan hukum. Contoh kongkrit yang dapat diamati adalah, diperkirakan kepentingan terbesar pemilihan Antasari adalah keinginan fraksi-fraksi raksasa di DPR untuk mengamankan kelompoknya dari upaya KPK membersihkan para politisi. Salah satu contoh terdekat adalah kasus aliran dana Bank Indonesia pada anggota DPR periode lalu yang sedang ditangani KPK.

Membunuh KPK

Akan tetapi, skeptisme dan penolakan yang dilakukan terhadap hasil pemilihan pimpinan KPK jilid II ini harus berjalan secara hati-hati. Tidak boleh terjebak pada skenario besar yang direkayasa oleh kelompok anti pemberantasan korupsi. Harus ditegaskan, bahwa kekecewaan dan penolakan yang dilakukan lebih pada individu yang dipilih, dan perselingkuhan proses politik di DPR, bukan justru delegitimasi KPK.

Mencermati pendapat yang berkembang di media massa kali ini. Beberapa tokoh reformis hampir terjebak pada wacana pembubaran KPK. Hal ini tentu akan disambut baik oleh mafia koruptif yang memang menginginkan tidak adanya KPK. Setidaknya dapat dibaca tiga skenario sederhana diablik pemilihan Antasari sebagai Ketua KPK.

Pertama, kalaupun KPK tetap dipertahankan, maka kelompok tertentu (elit & kroni partai besar) akan terlindung dari gerakan pemberantasan korupsi di periode 2007-2011. Hal ini dapat dilakukan dengan metode subsidi silang, seperti biasanya diterapkan oleh Kejaksaan dalam mengungkap kasus Pidana. Agar publik tidak terlalu kecewa, maka beberapa kasus kecil akan diungkap dan kampanye besar tentang cerita sukses akan dilakukan. Akan tetapi, kasus-kasus yang berhubungan dengan kelompok elit justru dihambat semaksimal-mungkin.

Kedua, dalam rangkaian pengajuan revisi undang-undang KPK yang sedang berjalan, para pimpinan akan menyusupkan pasal yang semakin melemahkan eksistensi dan gerakan KPK. Wacana agar KPK hanya menangani perkara di level penyidikan (tidak termasuk penuntutan) adalah gejala kongkrit skenario ini. Karenanya, pada tim KPK hari ini, sepatutnya usulan RUU KPK patut ditinjau ulang. Kita tidak ingin membuka kotak pandora yang sangat rentan melemahkan KPK ke depan.

Dan, Ketiga, alternatif terburuk tetapi tetap bernilai penting bagi kelompok koruptif, adalah arah pada pembubaran KPK. Beberapa pendapat ahli sepertinya terjebak mengarah pada wacana ini, dan kemudian disambut baik oleh salah seorang anggota Komisi III DPR dari salah satu fraksi yang sangat mendukung Antasari. “Kalau kerjanya tidak memuaskan, kita bubarkan saja KPK”. (Jawa Pos, 06/12).

Atas dasar itulah, seperti yang juga didorong ICW, bahwa kritik terhadap pimpinan KPK terpilih lebih pada konsep pengawasan dan pembangunan institusional KPK yang lebih baik. Bukan justru mengarah pada upaya pembubaran KPK. Karena kita tidak ingin, rakyat dikalahkan berkali-kali. Atau, jika KPK terbunuh lagi, sejarah akan mencatat, ini adalah yang kedelapan kalinya lembaga anti korupsi terkapar dengan menyakitkan.