Sabtu, 03 Januari 2009

"Sosialisme Religius dan Jalan Baru Indonesia"

"Sosialisme Religius dan Jalan Baru Indonesia"


Selagi kolonialisme-imperialisme masih berkuasa, kehidupan rakyat pasti miskin, sengsara dan tertindas. Pada situasi itu, gagasan-gagasan baru yang sanggup membuka jalan atas penderitaan dan siksaan akibat kolonialisme akan diterima dengan terbuka. Tidak diragukan, ajaran sosialisme yang berkembang pesat di Eropa sebagai senjata perjuangan klas pekerja dan kaum terhisap dan tertindas pun diterima dengan baik oleh berbagai pergerakan pembebasan rakyat tertindas di berbagai negeri, meskipun memang terjadi penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, termasuk di Indonesia.

Ajaran sosialisme ini dianggap sebagai “penyelamat” atas penderitaan itu, karena sebelumnya “ajaran-ajaran penyelamat” yang lain terbukti gagal dan kurang memadai, seperti gerakan saminisme. Gagasan sosialisme religius pun muncul, sebagai sebuah elaborasi antara pemikiran dan teori perjuangan Sosialisme dengan nilai-nilai ajaran agama. Sejak awal memang, kemunculan Islam dan Kristen, misalnya, dipahami sebagai agama yang membebaskan rakyat miskin dari penindasan. Islam melarang praktek perbudakan dan pembunuhan kelahiran bayi perempuan dan janji pada orang miskin untuk menjadi pemimpin dan pewaris bumi seperti yang dinyatakan pada QS. al-Qashash (28) : 5 Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)”. Sedangkan Kristen, hidup di kalangan nelayan sebagaimana kebanyakan murid-murid Yesus yang utama berasal serta hidup sengsara di bawah penindasan Kekaisaran Roma.

Karenanya tak mengherankan bila Teologi Pembebasan yang mendasarkan perjuangan pembebasan rakyat miskin pada ajaran-ajaran agama dan bersentuhan dengan Marxisme, berkembang dengan baik di negara-negara yang miskin terutama di belahan bumi selatan dan menjadi salah satu motor penggerak sosialisme abad 21 yang bercirikan humanisme, solidaritas, demokratik dan gotong-royong.

***

Saat ini, Indonesia sedang berhadapan dengan serbuan ekonomi dari negara-negara Imperialis seperti Amerika Serikat, Inggris, Eropa, Jepang dan lain-lain. Serbuan ekonomi negeri-negeri imperialis semakin memperparah keberadaan ekonomi nasional, yang sudah sejak awal tidak terbebaskan secara penuh dari susunan ekonomi kolonialisme. Akibatnya, penderitaan-penderitaan yang ditanggung oleh rakyat datangnya berkali-kali lipat, bukan saja berupa kesulitan pemenuhan ekonomi (lapangan kerja, upah layak, tanah dan permodalan, dll) tetapi juga faktor-faktor sosial seperti pendidikan, kesehatan dan lingkungan juga digerogoti oleh neoliberalisme.

Imperialisme sekarang ini merampas seluruh sumber-sumber ekonomi negara-negara selatan (dunia ketiga), menghilangkan independensi politik mereka dan membuatnya menjadi bangsa kuli, sehingga menghambat perkembangan bangsa-bangsa tersebut dan membuatnya hanya berkelimpungan dalam kubang kemiskinan, pengangguran, kebodohan, penyakit mengenaskan dan problem kemanusiaan lainnya.

Dalam kondisi serba sulit di bawah penjajahan baru ini, kemunculan gagasan-gagasan baru sebagai antitesa terhadap gagasan imperialisme, pasar, dan indivualisme menjadi kebutuhan massa rakyat. Akan muncul begitu banyak gagasan dari berbagai kecenderungan ideologis yang menyebar dari kiri, tengah dan kanan. Kesemua tawaran-tawaran gagasan tersebut selanjutnya akan diujikan dalam praktek-praktek politik dan gerakan. Sosialisme religius sebagai salah satu gagasan alternatif terhadap kondisi serba ruwet tersebut harus membuktikan keampuhannya, bukan sekadar ide segar para intelektual (cendekiawan). Sosialisme religius yang berakar pada tradisi Marxisme dan ajaran agama telah mengalami elaborasi sedemikian rupa, sehingga perlu ditinjau kecocokan-kecocokannya.

A. Sosialisme Religius dalam Praktek Sejarah

  1. Agama dan Sosialisme

Kadang-kadang Agama dan Sosialisme diperhadapkan sebagai dua kutub yang bertentangan tanpa ada jalan atau ruang damai, dan seolah-olah jika salah satunya berkuasa akan menindas yang lainnya. Karena itu situasi tersebut selalu dimanfaatkan penguasa dan para konservatif pengikutnya guna memecah-belah kesamaan tujuan antara sosialisme dan misi agama. Hampir semua agama memainkan peranan progressif di masanya dan menjadi spirit perlawanan dalam berbagai gerakan pembebasan nasional di negeri-negeri jajahan. Islam misalnya, yang dibawa dan diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW merupakan agama yang mengancam tatanan masyarakat perbudakan yang berbasiskan pada penghisapan, baik di dunia Arab maupun non-Arab.

M.N. Roy, seorang penganut Marxis, dalam bukunya, Historical Role of Islam (Peran Sejarah Islam), mengenalkan revolusi Islam dan perannya dalam sejarah. Begitu juga dengan H.G. Wells. Ia menerima konsep egalitarianisme Islam dan kekuatan sipil. Ia menulis, "... Islam menekankan persamaan pada setiap manusia tanpa membedakan asal dan golongan. Dan penerapan ukhuwah Islam merupakan kekuatan terbesar dalam sejarah dunia saat ini." Islam bertujuan menghapus perbudakan dan pengeksploitasian manusia oleh manusia serta menghilangkan sikap rasialis dan chauvinisme nasional. Sistem politik ekonomi Islam didasarkan pada musyawarah dan kesepakatan demi kepentingan orang banyak. Masyarakat diperbolehkan menanyakan berbagai hal kepada khalifah dan para gubernur setiap mereka bertemu ketika melaksanakan haji di Mekah. Sebelum Rousseau mengeluarkan konsep kontrak sosialnya, Islam telah mengajarkan hubungan antara khalifah dan rakyatnya, yang ditunjukkan dengan pemberian baiat (pengakuan) antara kalifah dan rakyat.

Karena Islam adalah bentuk negara kesejahteraan yang sesungguhnya, maka negara bertanggung jawab terhadap para yatim-piatu, janda-janda, serta anak-anak dan kaum yang tak mampu, bahkan juga atas orang-orang yang terlilit utang. Membebaskan budak adalah tindakan untuk menebus dosa seseorang. Di bawah sistem ekonomi Islam, barang-barang yang biasa digunakan manusia dan makhluk lainnya, seperti garam, air, dan rumput, tidak dikenai pajak. Negara yang menentukan harga dan barang-barang keperluan masyarakat agar tidak terjadi penimbunan keuntungan pada segelintir orang serta tak terjadi penipuan, misalnya jumlah timbangan barang atau penjual barang yang telah kadaluarsa.[1]

Dalam surat al-Taubah ayat 34-35 dilukiskan betapa Islam mengutuk ketidakadilan ekonomi yang terdapat dalam suatu masyarakat, sebagai berikut:.

"Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya banyak dari kalangan para rahib dan pertapa itu yang benar-benar memakan harta manusia dengan cara yang tidak benar dan menyimpang dari jalan Allah. Adapun mereka yang menimbun emas dan perak dan tidak menggunakannya di jalan Allah, maka peringatkanlah mereka itu dengan adanya siksa yang pedih. Yaitu ketika harta itu dipanaskan dalam api neraka, kemudian disetrikakan kepada kening, lambung dan punggung mereka. (lalu dikatakan kepada mereka): "Inilah yang kamu tumpuk untuk kepentingan kamu sendiri di dunia, maka sekarang rasakanlah harta yang dulu kamu tumpuk itu.

Demikian pula dengan agama Nasrani. Dalam novel berjudul “Quo Vadis”, karya Henryk Sienkiewicz diceritakan kegigihan dan pengorbanan kaum Nasrani dalam melawan kekaisaran Rowawi purba. Banyak yang mengidentifikasi Jesus Kristus adalah seorang Sosialist, meskipun ajarannya kurang memfokuskan kepada teori ekonomi atau politik tertentu, akan tetapi, ajarannya bersifat kebaikan universal. Cara pandangan dan sikap Jesus yang konsisten menentang tatananan kekuasaan yang menindas, diserap dan diaplikasikan oleh Enrico Guiterez dalam Teologi Pembebasan, yang begitu subur di Amerika Latin. Jesus Kristus adalah seorang yang mencintai orang miskin. Jesus mengatakan, “Jika Kau bekerja untuk melayani orang miskin, kau telah melayaniku”. Demikian pula dengan keberadaan agama-agama lain, seperti Budha, Hindu, dan konfusianisme akan bisa ditemukan ajaran yang membela rakyat miskin.

Pertentangan antara sosialisme dan agama selalu diletakkan kepada beberapa hal; pertama, keberadaan para penggagas Marxisme, seperti Karl Marx, Frederick Engels dan Vladimir Ilyich Ulyanov Lenin, dianggap sebagai pengobar perang terhadap agama. Filsafat kaum Marxis yakni Materialisme-dialektika-histories (MDH) dianggap tidak mengakui keberadaan Tuhan dari agama manapun. Marx memang pernah menulis bahwa “agama adalah Candu”. Marx mengkritik agama bukan karena landasan dari agama itu sendiri, melainkan mengeritik keberadaan dan praktek beragama dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang sering dijadikan pijakan legitimasi oleh pihak berkuasa yang menindas. Pada masyarakat Prusia, yang merupakan lingkungan yang pertama kali diamati sekaligus membesarkannya, Marx menyaksikan dengan langsung peranan agama yang bersekutu dalam Aliansi Suci(holy aliance) yang terdiri dari Prusia, Austria, dan Rusia dalam menindas kaum pekerja dan rakyat miskin.

Kedua, tuduhan bahwa ketika rejim komunis berkuasa, mereka akan dengan serta merta menutup tempat peribadatan, menindas pemuka agama, dan tidak ada kebebasan dalam memeluk agama. Tuduhan ini selalu didasarkan kepada pengalaman revolusi Kuba dan China. Pada masa rejim otoriter berkuasa, kaum agamawan menjadi sekutunya, sehingga ketika rejim itu dijatuhkan maka kelompok agamawan yang juga turut memperkuatnya akan tersapu oleh gelombang revolusi. Pertentangannya bukanlah karena dasar agama, tetapi hal itu murni pertentangan politik, yakni kekuatan lama dan kekuatan baru. Tidak ada penutupan gereja di Kuba ataupun China, malahan, seperti di Revolusi Rusia, kelompok islam Kaukasus dan sekitarnya bersuka cita mendukung revolusi kaum Bolshevik. Kenapa? Karena selama ratusan tahun Rusia di bawah Tsar mengembangkan Sovinisme atas bangsa kecil, termasuk negara-negara kecil beragama muslim di Kaukasus.

  1. Konsep Sosialisme Religius

Ajaran agama dan Sosialisme pada prakteknya sejak lama bisa bekerjasama dalam lapangan perjuangan anti-kolonialisme, termasuk dalam pengalaman perjuangan pembebasan nasional. Misalnya Serikat Islam sebagai manifestasi gerakan yang dilandasi Islam berhasil memimpin keresahan kaum pribumi, terutama buruh pabrik gula, pegawai pegadaian, dan petani. pada akhir 1918 dan 1919, metode pemogokan yang dilancarkan oleh serikat buruh---yang kebanyakan berafiliasi kepada SI dan ISDV—telah menuai kemenangan-kemenangan perjuangan ekonomi. Hal ini yang menyebabkan SI segera berkembang bukan hanya sebagai “partai politik” tetapi juga sebuah “gerakan massa” dengan keanggotaan mencakup 440.000 orang pada kongres keduanya. Penguasa koloniallah yang mengkotak-kotakkannya; putihan-abangan, Islam versus komunisme, dan begitu banyak pengkotak-kotakkan lainnya. Pengkotak-kotakkan itu telah menyebabkan perpecahan di kalangan islam dan juga di pergerakan, terutama ketika SI melancarkan gerakan “pendisiplinan partai” pada tahun 1922-1923.

Pada September 1922, Tjokro menerbitkan artikel berseri “Islam dan Sosialisme” di Soeara Boemipoetra dan mencoba mendasarkan pandangan sosialismenya pada Islam. Pada dasarnya Tjokro tidak memungkiri adanya sikap anti- kapitalisme dalam jiwa islam tetapi tidak menerima faham komunisme karena dianggapnya tidak mengakui Tuhan. Tjokro mengatakan, “SI mempercayakan segala sesuatunya kepada Allah, sedangkan PKI tidak bersikap kepada Allah”. Wajar saja kalau Tjokro mencoba membangun demarkasi yang tegas antara islam dan komunisme karena pada masa itu terjadi pertarungan dan pertentangan antara CSI/SI putih versus PKI/SI merah. Akan tetapi pendapat Tjokro ditentang oleh Misbach yang untuk masa itu menjadi propogandis PKI dan SI merah menjelaskan, bahwa prinsip dasar komunisme adalah “sama rasa sama rata”, jadi cocok dengan islam, dan menyerang Tjokroamito sebagai “racun”. Dalam beberapa penelitian tentang SI, sering dikemukakan penjelasan bahwa orang mendatangi SI karena harapan-harapan “millenarian” dan “mesianik”.[2] Tjokro mempelajari Marxisme tidak sepenuhnya bersumber pada fikiran-fikiran Karl Marx, Engels, ataupun Lenin, melainkan diperolehnya dari interpretator-interpretator yang tentunya sudah memiliki sudut pandang yang berbeda. Hal itu menyebabkan Tjokro salah mengartikan materialisme sebagai pemujaan benda-benda, dan anti ketuhanan. Padahal material dalam pengertian Marxisme adalah dunia kenyataan objektif yang real, bukan sekedar benda-benda fisik yang terlihat dengan panca-indera.

Cap Islam komunis ataupun komunis islam adalah salah kaprah karena Misbach tidak pernah berbicara tentang komunisme islam yang seakan-akan islam banyak macamnya, seperti komunis islam, kapitalisme islam, dan Imperialisme Islam. Kesesuaian antara prinsip komunisme dan islam merupakan jalan melaksanakan ajaran islam sejati dan konsisten. Jadi menurut Misbach, mempraktekkan komunisme adalah mempraktekkan islam secara konsisten. Misbach memandang kapitalisme dan Imperialisme sebagai usaha lain dari “setan” untuk menjatuhkan kaum muslimim dari Allah, dan perjuangan kaum komunis melawan Imperialisme sebagai pembuktian kesetiaan kaum muslimin kepada Allah.

Pengkotakkan kaum putihan-abangan, islam versus komunis dimulai pada tahun antara 1917-1918, dimana SI Semarang yang dipimpin oleh Semaun semakin radikal dan aktif berkampanye menentang Indie Weerbaar dan partisipasi SI dalam Volkasraad. Untuk mengimbangi pengaruh Semaun, lantas Tjokro melancarkan gerakan “Djawa Dipa”, yang sebuah gerakan untuk menghapus bahasa jawa tinggi (kromo) dan menjadi bahasa Jawa rendah (Ngoko), serta mengganti gelar priayi dengan gelar Djawa-Dipa. Lantas, Tjokro menyerukan penghilangan semua kata-kata “isme”, mulai dari sosialisme sampai nasionalisme dan menyerukan persatuan SI. Sikap terbuka Tjokro dalam ketekunannya belajar Sosialisme diucapkan sendiri : Wie, goed Mohammedaan is, is van zelf socialist en wij zijn Mohammedanen, dus zijn wij socialisten. (Seorang Islam sejati dengan sendirinya menjadi sosialis dan kita kaum muslimin, jadi kita kaum sosialisten).

Setelah Tjokroaminoto, sejarah pemikiran keekonomian dalam Islam hampir
tak bisa keluar dari paradigma sosialisme. Intelektual seperti Sjafruddin Prawiranegara atau Muhammad Roem, yang kerap dianggap sebagai pemikir garda depan Masyumi, adalah seorang 'sosialis religius'. Mungkin karena alasan historis ini, banyak generasi pemikir dan intelektual Islam yang lebih belakangan, menganggap Islam dan sosialisme sebagai satu kesatuan yang tak terpisah. Simaklah tulisan-tulisan para intelektual semacam Dawam Rahardjo, Adi Sasono, Amien Rais, dan Kuntowijoyo. Akan tetapi, pengertian “sosialisme” dilekatkan dengan ajaran Sosial-demokrat yang dianggap revisionis dan reformis.
Di berbagai negara, sosial-demokrasi telah sepenuhnya bergeser kekanan dan menjadi penganut “neoliberalisme” yang konsisten.

Sosialisme Indonesia yang dulu diangkat Bung Karno sebagai Sosialisme berdasarkan agama, yang kemudian didefenisikan kembali oleh beberapa cendekiawan Muslim sebagai sosialisme religius. Tentu ada hal yang berbeda dalam konteks pandangan sosialisme Indonesia Bung Karno dengan sosialisme religius sekarang ini. Pandangan sosialisme Indonesia Bung Karno yang kemudian dimanifestokan menjadi “Nasionalisme-Agama-komunisme (NASAKOM)” adalah sepenuhnya berprinsip anti-imperialisme dan anti neokolonialisme. Nasakom sendiri merupakan ide politik untuk mempersatukan tiga kekuatan utama bangsa ini, yaitu Nasionalis, Islam dan Komunisme untuk membangun sebuah tatanan baru yang berkeadilan sosial (New Emerging Forces). Bung karno mengomentari Nasakom sebagai berikut;

’Alle revolutionnaire krachten’ – ‘semua, sekali lagi semua, tenaga revolusioner didalam Bangsa’! Dus: segala penggolongan termasuk swasta (asal revolusioneer) dalam masyarakat kita persatukan. Dus: ‘Nasakom’. Sebab Nasakom adalah kenyataan-kenyataan-hidup yang tak dapat dibantah, living realities – didalam masyarakat Indonesia kita ini. Mau tidak mau, senang atau tidak senang, kita harus menerima kenyataan-kenyataan itu .... Janganlah kita masuk terjerumus dalam preang dingin. Jangan kita ikut-ikut perang-dingin itu ! Hal ini sudah saya peringatkan dalam salah satu pidato 17 Agustus yang terdahulu Kenapa masih saja ada golongan Rakyat Indonesia yang sadar atau tidak sadar masuk terjerumus dalam perang-dingin orang lain?[3]

Sedangkan, sosialisme religius menurut Nurcholis Majid, salah seorang dari intelektual itu, mendefinisikan sosialisme religius sebagai sosialisme yang berkomitmen kepada keadilan sosial akan tetapi tidak melalui proses seperti yang diserukan oleh kaum Marxist yakni revolusi sosial dan perjuangan kelas, tetapi melalui kapitalisme yang agak bermoral atau dimanusiawikan. Sedangkan Sosialisme religius Sjafruddin didasarkan atas tujuan hidup manusia yang dihimpun dari ayat-ayat al-Qur'an dan sunnah Nabi. Pertama, tujuan hidup manusia itu bukanlah mengejar kemakmuran akan materi, melainkan mencari Ridlo Allah Swt. Kedua, berhubungan dengan tujuan hidup manusia, maka Islam mengajarkan bahwa benda-benda itu hanyalah alat belaka, yang akan membantu manusia untuk hidup dan berbakti kepada Tuhannya. Ketiga, di dalam al-Qur'an dan Hadis terdapat banyak sekali pernyataan-pernyataan, bahwa harta kekayaan itu wajib dibelanjakan di jalan Allah; yakni untuk tujuan-tujuan yang bermanfaat bagi sesama manusia. Keempat, perintah Allah untuk tidak takut dan ragu-ragu membelanjakan harta kekayaan guna tujuan-tujuan yang diridhai Allah, tujuan-tujuan yang bermanfaat bagi sesama manusia, disertai janji Tuhan dalam al-Qur'an (QS. al-A'raf: 96) dan (QS. al-Baqarah: 261).

  1. Pandangan Sosialisme-Religius di Belahan Dunia Lainnya

Rata-rata pemikir (pemuka islam) mengelaborasi islam sosialis/kiri dengan beragam perspektif dan kecendurungan nasional. Tokoh-tokoh Islam kiri misalnya, seperti Ali Asghar Engeenir, Ali Syariati dan Hassan Hanafir tetap mengakui eksistensi kepemilikan pribadi sebagai hal yang tak bisa diganggu-gugat. Gamal Abdul Nasser, ketika menjadi presiden Mesir mencoba menyusun sosialisme ala Mesir yang berdasarkan kepada sosialisme yang bertujuan menghapus perbedaan kelas, membebaskan kaum tertindas, serta mengamankan hak-hak mereka. Berkaitan dengan kelas, tujuan sosialisme Islam di Mesir bukanlah menciptakan masyarakat tanpa kelas, tetapi menciptakan kondisi ketika kelas-kelas yang berbeda di dalam masyarakat menjalankan fungsinya secara sah, bebas dari dominasi dan pemerasan, serta hidup berdampingan secara damai. Sosialisme Mesir pun goyah seiring dengan krisis Nasserisme pada pertengahan 1960-an. Ketika Gamal Abdul Nasser dijatuhkan, sosialisme arab yang menaungi partai-partai dan gerakan-gerakan yang berporos pada pemikiran Nasser turut kolaps.

Perlu dicatat sejaman dengan Tjokro-Hatta juga muncul Paul Tillich,walaupun besar kemungkinan baik Hatta ataupun Tjokro tidak mengetahuinya. Paul Tillich adalah seorang teolog Kristen Jerman yang terkemuka, pada tahun 1933, mengeluarkan teorinya tentang sosialisme religius berdasarkan ajaran Kristen dalam bukunya `Die Sozialistiche Entscheidung (The Socialist Decision) yang hingga sekarang mewariskan masalah hubungan antara Kristiani dan Marxisme dalam bidang teologi maupun teori sosial dimana salah satunya adalah Teologi Pembebasan yang banyak dianut pastor-pastor revolusioner di Amerika Latin.

Teologi pembebasan meraih dukungan dan sukses luar biasa dalam lapangan praktek. Berkali-kali revolusi di daratan Amerika Latin tidak luput dari inspirasi teologi pembebasan dan keterlibatan aktif gereja-geraja progressif. Teologi pembebasan sebagai sebuah konsep teologi yang membebaskan, yakni teologi yang memprihatini nasib dan solider kepada mereka yang menderita ketidakadilan, kalah, miskin, ditindas dan menjadi korban sejarah; teologi yang mau mentransformasikan dunia. Atau dalam ungkapan Gustavo Gutierrez:

(Ini [teologi pembebasan] adalah sebuah teologi yang tidak hanya merefleksikan dunia, melainkan juga mencoba melakukan proses transformasi terhadapnya. Ia [teologi pembebasan] adalah teologi yang berupaya untuk melawan pelecehan terhadap martabat manusia, melawan perampasan oleh mayoritas, berupaya untuk membebaskan cinta dan membangun suatu masyarakat baru yang adil dan penuh persaudaraan – untuk meraih rahmat dari Kerajaan Tuhan”).(Alfred T. Hennelly, SJ, 1995: 16)

Adapun doktrin atau ajaran-ajaran penting yang menggerakkan mereka penganut Teologi Pembebasan di antaranya adalah: pertama, gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan pada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan tidak beradab, sebagai suatu bentuk dosa struktural. Kedua, penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab musabab kemiskinan, pertentangan-pertentangan dalam tubuh kapitalisme dan bentuk-bentuk perjuangan kelas. Ketiga, pilihan khusus bagi kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan. Keempat, pengembangan basis kelompok-kelompok masyarakat agama di kalangan orang-orang miskin sebagai suatu bentuk baru keagamaan dan alternatif terhadap cara hidup individualis yang dipaksakan oleh sistem kapitalis. Kelima, suatu penafsiran baru Kitab Suci yang memberikan perhatian penting pada bagian-bagian yang mengusung paradigma perjuangan pembebasan rakyat yang diperbudak. Keenam, perlawanan terhadap permberhalaan sebagai musuh utama agama, yakni berhala-berhala baru: uang, kekayaan, kekuasaan, keamanan nasional, negara, militerisme, peradaban Barat. Ketujuh, sejarah pembebasan manusia adalah antisipasi akhir dari Keselamatan. Dan kedelapan, kecaman terhadap teologi tradisional yang bercorak platonik yang memisahkan antara sejarah kemanusiaan dan ketuhanan (Michel Lowy, 1999: 25-30).

Saat ini, Teologi pembebasan bukan sekedar konsep belaka, tetapi hidup dan berkembang dalam gejolak revolusioner klas–klas tertindas di Amerika latin. Kemenangan Fernando Lugo, seorang pastor dalam pemilu Paraguay dalam pemilu baru-baru ini, telah menambar daftar banyaknya kontribusi teologi pembebasan dalam menggeser politik Amerika Latin semakin ke kiri.

Di belahan dunia lain, siapa yang tak mengenal keagungan dan kebesaran India. Dengan kepribadian bangsa dan kemandirian ekonominya, India merupakan negara dengan perkembangan ekonomi paling pesat dan stabil diabad ini. Kesuksesan India tentu tak dapat dipisahkan ”gandhisme” yang pernah menjadi ideologi anti-imperialisme dalam perjuangan pembebasan nasional India dan negara-negara jajahan di Asia dan Afrika.

B. Lapangan Perjuangan Baru, Penjajahan Gaya Baru

Dunia sedang memasuki pertarungan baru, yakni pertentangan antara kekuatan lama dan kelahiran dunia baru, atau seperti yang pernah diungkapkan Bung Karno dengan pembagian kekuatan lama (Old Established Forces) dan kekuatan baru (New Emerging Forces). Rumusan Bung Karno ini merujuk kepada pertentangan tak terdamaikan antara negara-negara imperialis dan kekuatan-kekuatan progressif dari negara-negara yang baru merdeka dan sedang terlibat dalam pembebasan nasional. kacamata ini sungguh tepat dengan keadaan situasi sekarang.

Dalam situasi dunia sekarang ini, Indonesia dan banyak bangsa-bangsa dunia ketiga lainnya diperhadapkan kepada pilihan-pilihan; menjadi patuh pada kehendak imperialis dan terutama korporasi-korporasi internasionalnya, yang konsekuensinya adalah meletakkan kehidupan ekonomi dan politik nasional sepenuhnya ditentukan oleh mereka, ataukah memihak kepada kedaulatan nasional dan mulai melirik kerjasama-kerjasama beradab dengan sesama negara dunia ketiga.

Serbuan ekonomi imperialis yang nyaris tanpa jeda, semenjak Indonesia memperoleh kemerdekaan tahun 1945 telah menempatkan ekonomi nasional terus-menerus dibuat tidak berdaulat (tergantung) pada kepentingan asing. Ketergantungan ini terlihat nyata dalam kedudukan ekonomi nasional di hadapan pemodal asing. Indonesia begitu bergantung kepada ekspor bahan mentah (minyak, gas, bauksit, tembaga, batubara, dan komoditi non-migas dan mineral) dan impor barang kebutuhan hidup (barang elektronik, kendaraan, tekstil, dll). Selain itu, pihak imperialis memberikan sejumlah pinjaman utang yang sudah terus diakumulasikan sejak kejatuhan Bung Karno dan pemerintahan-pemerintahan paska orde baru. Jika akumulasi hutang pada era Bung Karno 1945-1967 adalah 2,5 miliar dollar AS, maka pada era Soeharto 1967-1998 jumlah hutang meningkat menjadi 54 miliar dolar AS. Posisi hutang saat ini adalah 155,29 miliar dollar AS. Ini terdiri atas pinjaman yang diperoleh dengan perjanjian utang senilai 64,34 dollar AS dan penerbitan obligasi negara sebesar 90,95 miliar dollar. Jerat utang memainkan peran dominan dalam mengontrol perekonomian Indonesia agar tetap selaras dengan keinginan kaum Imperialis.

Kemerdekaan yang diperoleh Indonesia tidak cukup kuat dalam mengobarkan dan melikuidasi susunan ekonomi kolonial, sebuah sistem ekonomi yang terbangun dan menghegomoni cukup lama yakni 300-an tahun. Integrasi elit bisnis pribumi yang kuat dalam denyut perekonomian dan jaring-jaring dari modal imperialis, menyebabkan pengusaha (pemodal dalam negeri) susah berkembang secara independen dan bebas dari kungkungan neokolonial. Ada usaha untuk melikuidasi susunan ekonomi kolonial dan memberi kesempatan kepada kebangkitan modal pribumi, seperti dengan program urgensi ekonomi, program nasionalisasi, dan program benteng. Akan tetapi usaha-usaha itu kurang sukses, bukan karena keunggulan modal barat tetapi karena tantangan yang diberikan oleh kelompok pendukung keberadaan modal asing dan ketidakbecusan pengusaha pribumi dalam mengelola modalnya.

Meskipun sudah merdeka secara formal, tetapi sumber-sumber ekonomi yang meliputi faktor-faktor produksi yang penting seperti migas, mineral, industri baja, petrokimia, dan lain-lain belum pernah beralih ketangan bangsa Indonesia dan dikelola untuk kepentingan rakyat. Pengusaan asing terhadap sektor-sektor tersebut menyebabkan perkembangan Industri di dalam negeri menjadi kerdil dan tergantung (dependent), kalau tidak mau dikatakan tidak berkembang sama sekali. Industri yang berkembang sekedar menampung eskpansi kapital melalui paket kebijakan deregulasi finansial 1980 yang melahirkan pembangunan jalan raya, pelabuhan, bendungan, infrastruktur lainnya, dan industri manufaktur, juga melahirkan praktek rente besar-besaraan.

Industri yang berkembang tersebut tidak memberikan landasan dan arah yang menyejahterakan rakyat. Sebagai contoh, industri manufaktur menengah dan besar, hanya mempekerjakan empat juta tenaga kerja atau sekitar empat persen dari total 91 juta tenaga kerja. Perusahaan yang mempekerjakan 500 buruh ke atas mempekerjakaan sepertiga dari (kurang lebih 30 juta) tenaga kerja, memproduksi 80 persen dari nilai tambah manufaktur. Sementara dua pertiga (60 juta) tenaga kerja berada di perusahaan menengah dan kecil, yang mempekerjakan antara 5 sampai 99 buruh, serta industri rumah tangga yang mempekerjakan 1-4 buruh. Dua kategori yang disebut terakhir ini hanya menghasilkan nilai tambah manufaktur sebesar 5-6 persen. Sedangkan masalah penghasilan, menurut data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 85 persen buruh berpenghasilan di bawah 2 juta rupiah per bulan.

Ketika terjadi periode oil boom pada tahun 1970-an sampai 1980-an, petro-dollar yang mengalir dari periode “bonanza minyak” tidak diarahkan untuk membiayai industri nasional, terutama Industri migas sendiri, padahal Penghasilan dari sektor migas ini mencapai 61,7%. Bukannya diinvestasikan guna membiayai sektor industri di dalam negeri, tetapi dibagi-bagi di antara Soeharto dan kroninya. Ibnu Sutowo, kroni Soeharto, di saat menjadi dirut pertamina, merasakan keuntungan dari uang minyak (petrodollar). Harian Indonesia Raya (yang dibredel) menulis pada edisi 30 Januari 1970 bahwa simpanan Ibnu Sutowo mencapai Rp 90,48 miliar. Jumlah yang fantastis dibandingkan dengan kurs rupiah saat itu yang hanya Rp 400. Harian yang akhirnya dibreidel pemerintah ini juga menulis akibat jual beli minyak lewat jalur kongkalikong Ibnu dan pihak Jepang, negara dirugikan sampai US$1.554.590,28. Pada tahun 1975, Ibnu Sutowo mewariskan utang US$10,5 miliar. Utang ini nyaris membangkrutkan Indonesia. Penerimaan negara dari minyak saat itu hanya US$6 miliar. Ibnu memang mundur dari posisi dirut pertamina(1976), tetapi utang dan dugaan korupsi yang pernah dilakukannya tidak pernah sampai ke pengadilan.

Paska Soeharto lengser, formasi capital tetap didominasi oleh asing, serta orientasi dari para politisi nasional tetap setia sebagai “alas kaki” bagi kepentingan modal asing. Hal itu terbukti kemudian dengan penandatanganan Letter Of Intent (L.o.I) di masa pemerintahan Habibie. Kesepakatan tersebut merupakan implementasi terhadap “washingtong consensus” yang mengarahkan perekonomian Indonesia semakin mengarah pada liberalisasi ekonomi. Sektor migas Indonesia dikuasai oleh pihak asing mencapai 80-90% dari seluruh lapangan migas yang ada. Belum lagi, seluruh sumber-sumber energy seperti minyak, gas, dan batubara diharuskan dijual keluar negeri. Sekitar 80% produksi gas Indonesia diekspor ke Jepang, China, dan Singapura, sementara ekspor batubara mencakup 70%. Padahal kebutuhan gas dan batubara di dalam negeri belum terpenuhi, akibatnya industri pupuk dan petrokimia harus gulung tikar.

Liberalisasi juga berdampak pada kapasitas produk industri di dalam negeri. Liberalisasi impor menyebabkan kekalahan hasil produk di dalam negeri oleh produk impor yang lebih murah, lebih bermutu dan berkualitas. Industry sepatu dan sandal misalnya, sejak tahun 2001 hingga 2005 sebanyak 28 perusahaan sepatu nasional tutup usaha karena kalah bersaing harga dengan sepatu impor ilegal yang masuk ke Indonesia. Kapasitas terpasang produsen sepatu dan sendal nasional juga menurun dengan kemampuan utilitas pabrik 75 persen. Komitmen pemerintah kepada WTO dalam hal liberalisasi perdagangan telah melepaskan Industri dalam negeri “bertarung bebas” dengan pesaingnya dari luar yang tentunya lebih kuat modal dan teknologi.

Desakan “kuat” kaum imperialis terhadap pencaplokan kekayaan SDA dan SDM negara dunia ketiga berlanjut pada digerogotinya kedaulatan dan kebebasannya sebagai negara yang sudah merdeka. Desakan ini memaksakan dengan segala cara kepada negara dunia ketiga, termasuk dunia arab yang konsisten menegakkan kedaulatan nasionalnya untuk menyerahkan kekayaan alamnya---terutama minyak—kepada negara-negara maju dan korporasi-korporasi raksasa (Halliburton, ExxonMobil, ConocoPhilips, dll).

Desakan ini mendapat respon balik, berupa perlawanan-perlawanan yang berlansung di hampir seluruh negeri terutama di Irak, Palestina, Afghanistan, Pakistan, Lebanon, Sudan, Nepal, Kolombia, venezuela, dan juga berlangsung di negara-negara maju sendiri. Dikobarkannya “perang melawan teror” sebagai salah satu strategi offensif imperialis, telah menggeser dunia islam pada posisi yang paling radikal dan militan. Kesuksesan Hezboullah, pembangkangan Iran dan Ahmadinejad, perlawanan faksi –faksi perlawanan di Irak, dan belahan dunia Islam lainnya yang sedang disakiti. Kebangkitan dunia islam menghadang dominasi dan hegemoni blok imperialis telah menginspirasikan perjuangan anti-imperialis dalam spektrum yang cukup luas. Sayyed Hasan Nasrallah, pemimpin Hizbullah (yang telah menjadi semacam ‘simbol’ perjuangan rakyat melawan serbuan imperialis yang tak hanya di Lebanon namun juga di seluruh wilayah Arab) menyerukan pembentukan front Anti Imperialis dengan spectrum lebih luas, yakni meliputi kaum muslimim, kaum sosialis, dan kelompok-kelompok minoritas dengan platform anti zionisme dan anti-imperialisme. watak Anti Imperialis ditunjukkan Sayyed Nasrallah dengan menerima kunjungan presiden Republik Sosialis Venezuela, Hugo Chaves dan membuat kesepakatan bersama yang bersejarah antara dua kawasan yang selalu bergolak melawan Imperialisme, yakni Timur Tengah dan Amerika Latin. Ulama Nasrallah menyambut keberanian Hugo Chaves dan rakyat Venezuela yang merupakan negara pertama yang bersolidaritas terhadap Hezboullah dan rakyat Lebanon serta mengutuk imperialisme AS, sesuatu yang malah tidak dilakukan oleh negara-negara yang menyebut dirinya “muslim”.

Di Indonesia, desakan kaum imperialis terutama ditentang oleh tiga spektrum utama, yakni kaum nasionalis, islamis, dan kaum sosialis. Kendati dengan tawaran yang berbeda dan ukuran kemarahan yang berbeda-beda, akan tetapi, tiga spektrum ini cukup mewakili aliran-aliran politik yang berkembang di Indonesia sekarang ini. Anti imperialisme tentu tidak bisa disamarkan dengan anti-barat secara membabi-buta, seperti yang dilakukan oleh beberapa kelompok islam garis ekstrem. Keresahan umum yang dirasakan dunia agama harus dipandang sebagai refleksi dari konteks situasi dunia internasional dewasa ini; kemiskinan, kelaparan, krisis energi dan pangan, pemanasan global, krisis kemanusiaan dan lain-lain. Sehingga perlu untuk menegaskan, bahwa problem terbesar bangsa-bangsa dan manusia di muka bumi ini bersumberkan pada sebuah kebathilan yang bernama “Kapitalisme/Imperialisme”.

Lapangan perjuangan ideologis sosialisme religius akan terletak kepada tiga kekuatan tadi (nasionalis, islamis, dan kaum sosialis dan bisa ditambahkan umat beriman lainnya). Tiga kekuatan ini harus distrukturkan menjadi sebuah kekuatan politik alternatif dengan sebuah front persatuan semacam Front Nasional di jaman Bung Karno. Dendam-dendam ideologis dan politis di masa lalu harus dinomor-duakan dan menomor-satukan kebutuhan pokok sekarang; persatuan nasional.

I. Rumus Baru Sosialisme Religius

Republik Indonesia yang pernah diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta sudah hancur lebur, pertamakali dihancurkan oleh rejim Orde baru dan selanjutnya kedaulatan kita dikoyak-koyak oleh modal asing. Pengalaman progressif dan membanggakan di masa lalu seolah-olah tidak ada, tergantikan oleh mentalitas inlander para pemimpin bangsa ini yang hanya menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa kuli di antara bangsa-bangsa. Inilah tantangan bagi seluruh spektrum nasionalis, islamis, dan sosialis yang sedang berebut ruang memegang kendali (setir) kepemimpinan republik dalam pemilu 2009 mendatang.

Sosialisme religius, boleh jadi, bisa menjadi alternatif ideologis terhadap keruwetan persoalan bangsa ini, bukan sekedar sebuah “militansi” yang ditawarkan untuk merebut dukungan rakyat yang menginginkan perubahan. Jika Tjokroaminoto merumuskan sosialisme –religius dalam konteks perjuangan kolonial tak lebih sebagai sebuah konsepsi ideologis, demikian juga dengan penerus-penerusnya seperti Haji Agus Salim, Moh. Roem, Hatta dan lain-lain, maka sosialisme religius di masa sekarang harus dirumuskan ulang baik dalam pengertian sosialistiknya, maupun tendensi religiusnya.

Sosialisme yang diperjuangkan, haruslah merupakan sebuah tatanan masyarakat baru yang sanggup menciptakan demokrasi seluas-luasnnya, baik demokrasi ekonomi maupun demokrasi politik. Demokrasi ekonomi mengacu pada kontrol demokratis terhadap sumber-sumber ekonomi oleh seluruh rakyat, bertentangan dengan pengelolaan ekonomi sekarang yang sepenuhnya mengabdi kepada suatu klas, yakni muztakbirin. Kekayaan alam yang melimpah harus dikontrol negara dan ditransfer kepada investasi sosial pada rakyat. Sedangkan demokrasi politik bermakna perombakan system politik yang memungkinkan partisipasi rakyat seluas-luasnya dan transfer kekuasaan secara real ke tangan rakyat. Sosialisme Indonesia ini akan disandarkan pada sifat-sifat dan kepribadian bangsa Indonesia yang luhur sebagai intisarinya, seperti semangat gotong royong.

Sedangkan tendensi religius berarti bukan hanya merujuk pada islam, tetapi juga harus merujuk pada aspek-aspek pembebasan yang dimiliki agama lain, seperti teologi pembebasan, egalitarianism budha, prinsip hindu dan ajaran-ajaran agama lainnya.

Karena bertujuan mewujudkan masyarakat baru tersebut, maka sosialisme religius harus memiliki aspek perjuangan pembebasan nasional sebagai salah satu tahapan perjuangannya. Seperti yang diucapkan Bung karno, bahwa “tidak akan mungkin membangun masyarakat baru, tanpa menghancurkan masyarakat lama”. Imperialisme yang terus-menerus membangun dominasi dalam kehidupan ekonomi dan politik menyebabkan landasan untuk berdirinya ekonomi dan politik yang berdikari susah terwujud. Imperialisme harus disingkirkan baik dalam lapangan ekonomi, lapangan politik, maupun lapangan budaya. Sosialisme religius harus menyatukan spektrum nasionalis, islamis, dan kaum sosialis dalam perjuangan anti-imperialis ini, dengan sebuah wadah persatuan nasional. Ide tentang persatuan nasional menjadi penting guna mengakhiri pengkotak-kotakkan yang diwariskan oleh kolonialisme dan sisa-sisa feodalisme, seperti abangan-putihan, pengkotakan berdasarkan agama, suku, faktor kedaerahan dan lain sebagainya.

Sosialisme religius harus menyerap “gotong royong” sebagai salah ide tentang masyarakat baru, sama halnya dengan marxisme di amerika latin yang menyerap “indianismo”, “bolivarianismo”, sandinismo”, dan teologi pembebasan. Mengenai gotong royong, Bung Karno mengatakan “Saya amat gembira oleh karena, ya memang saudara-saudara jikalau kita hendak menyelesaikan revolusi nasional kita ini, tidak ada jalan lain melainkan gotong-royong dan ho lopis kuntul baris”. Gotong royong bukan slogan absrak, tetapi menjadi kebudayaan dominan bangsa Indonesia di masa lalu dalam membangun bangsa. Gotong royong punya makna ideologis, yang berarti anti –individualisme, elitisme, berpangku-tangan dan bermalas-malasan (pendeknya anti feodalisme dan anti liberalisme).

II. Mewujudkan “Indonesia Baru”

Tidak diragukan lagi, perjuangan pembebasan nasional bukan sekedar penegasan kedaulatan bangsa Indonesia di mata bangsa-bangsa tetapi merupakan perjuangan mengakhiri kemiskinan, keterbelakangan tenaga-tenaga produktif, dan mengakhiri ketergantungan ekonomi nasional terhadap asing. Perjuangan ini sekaligus bermakna melahirkan “Indonesia baru” yang memiliki kedaulatan atas sumber kekayaan alam (migas, mineral, produk pertanian, kelautan, dan lain-lain) dan memajukan produktifitas rakyat (pendidikan dan kesehatan) dengan membangun ekonomi nasional mandiri yang berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan hidup rakyat. Menuju Indonesia baru bukan sekedar sebuah abstraksi kata-kata, tetapi memiliki pengertian membangun sebuah fundamen “nation” yang berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain, yang dapat pula dikatakan sebagai penyempurnaan terhadap ungkapan Bung Karno, bahwa “revolusi belum usai”.

Krisis kapitalisme yang sudah begitu parah, membutuhkan penyelesaian oleh negara imperalis dengan melakukan pencaplokan langsung terhadap sumber-sumber material dan bahan baku Negara-negara dunia ketiga, penerapan upah murah dan fleksibel terhadap tenaga kerjanya, dan merebut pasarnya untuk menjual komoditi selain mengandalkan “spekulasi”. Upaya pencaplokan ini bukan hanya dengan menggunakan negosiasi “penerapan washintong consensus” tetapi juga dengan pendekatan militer, seperti yang dialami oleh Irak, Afghanistan, percobaan kudeta di Venezuela, Sudan, dan belahan dunia lainnya. Dalam kepentingan itu, Indonesia sampai saat ini adalah penghasil 25% timah, 2,2% batubara, 7,2% emas, dan 5,7% nikel dunia, Indonesia merupakan penghasil gas nomor 1 di dunia, masuk juga sebagai penghasil batubara terbesar setelah Australia, dan penghasil minyak,belum lagi jumlah penduduk yang mencapai 230 jiwa betul-betul merupakan pasar yang sangat potensial. Sehingga tidak akan ada alasan imperialis melepas pengaruhnya di Indonesia, termasuk terus-menerus memelihara rejim boneka dan elit pendukungnya di dalam negeri.

Problem mendasar di hadapan kita, termasuk pemimpin-pemimpin yang akan berkompetisi dalam pemilu 2009, adalah; pertama, kelanjutan dari dampak krisis energi di tingkat global adalah pemenuhan energi yang cukup untuk di dalam negeri, meliputi kebutuhan Industri, kebutuhan rumah tangga, dan bahan bakar, dan lain-lain, berhadapan dengan semakin meluasnya penguasaan asing terhadap sumber-sumber energi kita (minyak, gas, dan batubara). ada tuntutan liberalisasi sektor migas nasional oleh pihak korporasi internasional. Tujuannya tentu agar pemain asing leluasa bermain dalam bisnis BBM dari hulu ke hilir.

kedua, penguasaan sumber-sumber ekonomi kita oleh pihak asing dan berbagi dengan para oligharki di dalam negeri, sehingga tidak menyisakan sedikitpun buat rakyat. Di bawah syarat-syarat policy neoliberal, pemerintahan yang ada sekarang memangkas subsidi sosial untuk publik, seperti pendidikan dan kesehatan, memaksa sekitar separuh dari populasi (110 juta jiwa) dengan pendapatan 2 USD ke bawah hidup dengan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang begitu buruk. Sedangkan di sisi lain, pemerintah semakin memperbesar subsidi kepada orang kaya, korporasi asing, dan beberapa elit politik dengan berbagai insentif dan jaminan berbisnis.

Ketiga, keterbelakangan tenaga produktif akibat ekonomi yang sangat tergantung, tak terindustrialisasi, berproduktifitas rendah, dan kurang berkembang menyebabkan kehidupan seluruh rakyat (dan juga pengusaha) yang bergantung pada industrialisasi begitu miskin, nilai tambahnya sangat kecil dan tidak memberi kesejahteraan. Christopher Lingle di harian Jakarta Post (20/02/08), dalam artikel yang berjudul “Restoring Indonesia's economy to a higher growth path” mencatat bahwa pengangguran di Indonesia mencapai 40% dari total angkatan kerja. Selain itu, Bank Dunia menyebutkan sekitar 49,5% Rakyat Indonesia berpendapatan di bawah 2US$/hari.

Keempat, sistem demokrasi yang dilembagakan paska reformasi tidak cukup mengangkat partisipasi politik rakyat. Rakyat tetap di pinggiran kekuasaan, sedangkan ruang kekuasaan sepenuhnya disesaki oleh partai yang rata-rata dikontrol oleh elit oligharkis. Demokrasi di bidang politik berfaham liberalisme dan hanya membuka jalan bagi liberalisasi ekonomi, tetapi tak sanggup menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Ini melahirkan segi yang bertentangan, antara kekuatan politik yang terus menerus jadi pengikut neoliberalisme-imperialisme dengan kekuatan-kekuatan anti penjajahan asing yang meliputi kaum nasionalis, islamis, dan sosialis. Untuk kepentingan pemilu 2009, dimana begitu banyak partai-partai yang menaburkan janji-janji perubahan dan seolah-olah mereka akan sanggup menyelesaikan masalah bangsa dengan sederhana, kita perlu menawarkan konsep perubahan ekonomi-politik yang konsisten. Ini dapat diterjemahkan sebagai gerakan memutar haluan, dengan konsep ekonomi baru, pemerintahan dan presiden baru, menuju Indonesia baru. Kita harus tegas menolak politik dan ekonomi yang berbau neoliberalisme.

Program perjuangan Sosialisme Religius:

I. NASIONALISASI ASET-ASET VITAL

Pemerintah harus menasionalisasi industri penghasil energi (minyak, gas dan batubara), tujuannya untuk memegang kendali terhadap produksi energi guna memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri. Nasionalisasi akan menghentikan aliran petro-dollar ke tangan asing dan selanjutnya dimanfaatkan untuk investasi sosial yang produktif (pendidikan, kesehatan, sembako, perumahan, dll) dan membiayai pembangunan infrastruktur dan kegiatan perekonomian. Kepemilikan terhadap perusahaan migas berada di tangan negara, demikian pula dengan persoalan manajemen, operasional, dan target produksi akan ditentukan oleh negara. Indonesia bisa saja mengabaikan kuota OPEC, seperti yang dilakukan oleh Venezuela agar pengelolaan migas benar-benar untuk kepentingan rakyat.

Tetapi, Nasionalisasi tetap harus disesuaikan dengan kapasitas bangsa kita dalam hal permodalan, teknologi, Sumber daya manusia (SDM), dan dukungan rakyat. Ada banyak model-model nasionalisasi yang bisa dilakukan, seperti pengalaman Kuba, Venezuela, Bolivia, atau Libya. Gaya nasionalisasi Bolivia misalnya, karena pemerintah Morales tidak memiliki kapital yang cukup guna menjalankan nasionalisasi dalam pengertian tradisionalnya (kepemilikan dan kendali berada ditangan negara), maka pemerintah Morales lebih menekankan pada model nasionalisasi sebagai “'Kita akan menegakkan hak kita terhadap sumber daya alam kita tanpa mengusir atau menyita hak milik siapa pun”. proses tersebut menyertakan peningkatan 'bagian pemerintah' Bolivia secara substansial yang diperkirakan akan meningkatkan pendapatan negara dari industri tersebut dari sekitar $1 milyar pada 2006 menjadi $4 milyar di bawah pengaturan yang baru. Kesepakatan yang dibuat memberikan makna bahwa perusahaan gas alam akan memberikan uang sewa (rente) kepada pemerintah antara 50% dan 82%, tergantung pada negosiasi yang kompleks antara negara dan masing-masing perusahaan. Sebagai imbalannya, perusahaan-perusahaan ini diberikan akses terhadap gas alam selama periode yang berkisar antara 23 dan 30 tahun[4].

Langkah-langkah yang harus dilakukan pemerintah Indonesia, sehubungan dengan pengelolaan migas;

  1. mencabut UU nomor 21 tahun 2002 dan mengimplementasikan kebijakan hidrokarbon yang baru, yang menjamin kedaulatan negara atas energi. Seluruh kontrak pertambangan yang merugikan harus dibatalkan dan menyesuaikan dengan hukum hidrokarbon yang baru.
  2. Menaikkan penerimaan pemerintah dari sektor migas. pemerintah harus memperkenalkan skema production sharing yang adil dan menguntungkan, misalnya, pembagian keuntungan bersih 60:40 (Indonesia 60 dan asing 40), tidak ada lagi embel2 cost recovery, dll. Menaikkan keuntungan dari pajak royalti yang dibayarkan perusahaan trans-nasional. pemerintah bisa memberlakukan dua sistem pajak sekaligus, yakni; Pajak Penghasilan tambahan (Complementary Tax) dan Pajak Keuntungan (Profit Tax)
  3. Konsep alih-tehnologi dengan keharusan bagi korporasi asing untuk memberikan pelatihan (training) secara konstan dan kontinyu kepada karyawan berkebangsaan Indonesia. selain itu, orang-orang Indonesia harus ditempatkan pada posisi-posisi penting agar mereka lebih mengerti manajemen dan kendali industri migas.
  4. Perusahaan migas harus memberikan kontribusi khusus berupa investasi sosial terhadap masyarakat sekitar perusahaan, berupa pelayanan pendidikan, kesehatan, sarana publik, dan lain-lain.
  5. Keharusan memenuhi kebutuhan domestik harus dicantumkan dalam kontrak pertambangan. Pemerintah punya kewenangan memaksa perusahaan asing (dekrit) untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri dengan harga terjangkau.
  6. Pemerintah harus memperkuat Industri minyak negara dengan mengembalikan fungsi sosial dan politik pertamina sebagai BUMN. Pemerintah harus membersihkan mafia migas, insider trading, dan kasus korupsi dalam BUMN, sebagai prioritas khusus.
  7. Pemerintah harus kembali kepada OPEC. Harus ada negosiasi ulang antara pemerintah Indonesia dan partnernya di OPEC, termasuk menyelidiki kemudahan2 kerjasama perminyakan dengan sesama anggota OPEC. Indonesia harus memperbaiki kredibilitasnya di OPEC dan mulai mengambil posisi penting dalam lembaga ini.

Otonomi (independensi) Bank Sentral harus diakhiri dan membuat hukum yang baru yang mengarahkan pemerintah mengontrol bank sentral. Sistem sirkulasi, peredaran uang dan kredit harus dikendalikan oleh negara. Selain itu, pemerintah harus mendirikan sebuah Bank Umum untuk pembiayaan pembangunan yang sifatnya strategis. Pada masa bung karno, didirikan Bank Industri Negara (BIN) yang bertujuan membantu pemerintah dalam membiayai pembangunan infrastruktur, industrialisasi, dan program-program pembangunan lainnya.

Penekanan model nasionalisasi yang memperbesar penerimaan keuntungan negara dari sektor migas ketimbang model nasionalisasi tradisional, akan memberikan begitu banyak kapital yang dapat dimanfaatkan guna membiayai sektor-sektor industri strategis lainnya. Industri-industri lain yang bersifat strategis seperti kelistrikan dan telekomunikasi, industri baja dan aluminium, petrokimia, semen, dan perusahaan penerbangan dan pelayaran juga harus dinasionalisasi. Dengan menguasai sektor-sektor strategis tersebut, negara dapat membuat perencanaan ekonomi, seperti peningkatan produksi, pengontrolan tujuan-tujuan produksi dan keuntungan, pemberlakukan upah dan sistem jaminan kerja yang layak, dan pengorganisasian produksi yang berorientasi peda pemenuhan kebutuhan dalam negeri.

II. PENGHAPUSAN UTANG LUAR NEGERI

Outstanding utang luar negeri pemerintah pada tahun 2001 yang berjumlah 71, 377 juta dolar AS, pada tahun 2006 meningkat menjadi 74,126 juta dolar AS[5]. Selama ini rasio utang luar negeri terhadap PDB mencapai 40-60% dan menghabiskan sekitar 30-40% dari anggaran APBN, jauh melampaui pendanaan untuk sector public, seperti pendidikan dan kesehatan. Selain itu, utang luar negeri yang dengan sengaja ditumpukkan oleh kaum imperialis bertujuan untuk mengikat leher kita agar bisa menjalankan scenario ekonomi yang mereka kehendaki.

Seberapa jauh Penghapusan Utang sangat memungkinkan untuk dilakukan?

A. Nigeria berhasil melalui pemotongan utang sebesar 15,5 milyar USD AS, atau 67% dari total seluruh utangnya. Keberhasilan ini tidak melalui skenario IMF ataupun anjuran lembaga donor, tetapi lewat negosiasi dan keberanian pemerintahnya, padahal negara itu bukan kategori HIPC. Dan hasilnya, NigeriaNigeria berhasil membiayai pendidikan 3,5 juta anak dan menggaji 120 ribu guru baru. tidak dikucilkan, bahkan dengan potongan tersebut,

B. Nestor Kirchner memenangkan kursi kepresidenan di Argentina dengan suara hanya sebesar 22%. Banyak kelompok kiri yang meragukan kemampuannya. Akan tetapi, dengan mendatangi dan mencoba menarik dukungan dari NGO, serikat buruh, petani, dan sektor-sektor sosial yang terbengkalai, Kirchner berhasil menghapus sekitar 70% utang negerinya. Kirchner semakin populer dimata rakyatnya dan posisi argentina dimata Internasional semakin diakui.

Harus dicarikan cara efektif namun tidak beresiko dalam mengatasi tekanan utang ini. Negosiasi bilateral sepertinya jauh lebih mudah ketimbang menggunakan jalur multilateral.

Ada beberapa metode mengatasi utang:

I. Debt Swap (konversi Utang): diterapkan oleh Paris Club III, dengan enam skema, antara lain: debt swap for development (lingkungan dan pendidikan), debt equity swap, debt to repayment againt export delivery, debt swap to privatization, debt swap for FDI, dan debt to project investment swap. Sejauh ini, praktek debt Swap sudah dipraktekkan dengan Jerman, yakni Debt Swap for Education; proyek peningkatan mutu dan kualitas pendidikan.

II. Moratorium (Penundaan): keputusan pemerintah untuk menunda pembayaran utang, jikalau pembayaran itu menimbulkan kerusakan yang sulit diperbaiki terhadap kesejahteraan rakyat. Moratorium diberikan berdasarkan jangka waktu, paling minimal 10 tahun, disertai dengan pembekuan (freezed), reduksi beban bunga utang luar negeri (waiver).

III. Debt relief atau penghapusan sebagian utang luar negeri dari pemotongan sebagian utang pokok. Metode ini dilakukan oleh pemerintah Nigeria dan memperoleh pemotongan sebesar 67% dari total utangnya. Metode ini memakan waktu panjang dan mengharuskan beberapa persyaratan-persayatan, seperti situasi ekonomi yang memburuk (masuk kategori HIPC).

IV. Haircut utang: penghapusan komponen utang najis (oudious debt), yang dimaksud disini adalah utang yang dikorupsi oleh penguasa otoriter, atau utang yang tidak legitimate (tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya).

V. MEMBANGUN DAN MEMPERKUAT INDUSTRI DALAM NEGERI

Prinsip pembangunan industri nasional adalah bertujuan untuk memperkuat industri dan memenuhi kebutuhan rakyat. Jika Industri dalam negeri kuat dan berkembang, maka ketergantungan dengan pihak asing akan berkurang.

Dalam kerangka ini, pembangunan Industri nasional meliputi;

1. Negara harus menghentikan privatisasi BUMN dan melakukan renasionalisasi terhadap BUMN yang telah diprivatisasi. Pemerintah harus memobilisasi modal dan SDM untuk memperkuat BUMN, disamping itu, secara intensif memberantas insider trading (brokerisasi) didalam tubuh BUMN.

2. Negara menjamin pasokan energi untuk setiap jenis Industri. Korporasi-korporasi besar penghasil energi (minyak, gas, dan batubara) harus diambil alih ke tangan negara untuk tercukupinya kebutuhan energi didalam negeri. Jika pemerintah belum sanggup melakukan nasionalisasi, maka pemerintah bisa saja meninjau ulang kontrak pertambangan dan memasukkan klausul soal keharusan bagi korporasi untuk memenuhi kebutuhan domestik, dengan harga yang diputuskan oleh pemerintah. Industri-industri bersifat strategis lainnya seperti industri listrik dan telekomunikasi, petrokimia, aluminium, baja, perusahaan penerbangan dan pelayaran, dan industri semen juga harus diambil alih oleh negara.

3. Negara harus menjamin ketersediaan bahan baku untuk Industri agar tetap berproduksi. Jika diperlukan, larangan ekspor terhadap jenis bahan baku tertentu dapat diberlakukan hingga kebutuhan domestik dapat terpenuhi.

4. membangun industri dasar dan infrastruktur ekonomi seperti Industri baja, industri semen, industri petrokomia, industri olahan untuk hasil pertanian---guna memberi nilai tambah bagi produk pertanian—dan lain sebagainya. Selain itu, pembangunan industri komponen bahan baku harus dilakukan guna menghilangkan ketergantungan terhadap impor komponen dari luar negeri.

5. menjamin pasar bagi produk industri tertentu, menerapkan proteksi terhadap jenis komoditi yang masih memiliki daya saing rendah dengan memberlakukan pajak dan cukai yang tinggi pada jenis komoditi yang sama, yang diimpor dari luar negeri. Negara harus membersihkan jalur distribusi dari para penyelundup, mafia, dan agen-agen birokrasi yang korup dan memberikan harga subsidi kepada rakyat agar terjangkau.

6. memberikan perhatian kepada industri kecil dan menengah dengan memberikan akses kredit mikro, ketersediaan bahan baku murah, dan jaminan ketersediaan pasar.

7. memajukan tenaga produktif pertanian di pedesaan dengan melakukan beberapa langkah;

a. kepemilikan tanah/lahan. Tanah-tanah yang kurang produktif karena tidak dikelola harus didistribusikan kepada petani.

b. memberikan kredit murah dengan bunga sangat lunak bagi petani. pemerintah harus membangun Bank khusus bagi petani dan kaum perempuan di desa, guna menjamin kapital bisa terarah untuk produktifitas masyarakat didesa.

c. Membangun industri olahan hasil produk pertanian guna memberi nilai tambah petani dan industri pengadaan alat-alat pertanian seperti festisida, traktor, dan lain-lain. Untuk memberikan akses teknologi modern yang belum sanggup diproduksi didalam negeri, negara mesti mengurangi pajak impor untuk jenis teknologi pertanian tersebut.

d. Membangun lembaga penelitian, survey, dan pelatihan terhadap petani dalam hal pembibitan, pemberantasan hama, perbaikan kualitas, dan lain-lain.

e. Menjamin pasokan energi (gas) murah untuk perusahaan-perusahaan pupuk agar terus berproduksi; membuat larangan ekspor gas keluar negeri atau menaikkan pajak/cukai untuk eskpor gas.

f. Menjamin pasar bagi produk pertanian baik didalam negeri maupun di pasar internasional.

g. Melakukan intervensi terhadap pasar guna menjaga stabilisasi harga –harga komoditi pertanian agar tetap menguntunkan petani dan masyarakat diperkotaan.

8. Menaikkan kesejahteraan pekerja, pegawai negeri, dan prajurit rendahan (TNI/Polri)[6] dengan menerapkan sistem pengupahan “Upah Minimum Nasional”, dengan perhitungan yang didasarkan pada Standar Hidup Layak empat kota industri (DKI Jakarta, Makassar, Medan, Samarinda) yang mewakili empat pulau terbesar di Indonesia.

9. Menjamin sumber daya manusia yang berkualitas dan menaikkan produktifitas mereka. Dalam konteks ini, pendidikan dan kesehatan ditanggung sepenuhnya oleh negara. Jaminan penyediaan gizi bagi masyarakat, tidak dipandang sebagai program belas kasihan untuk sebagian rakyat miskin (seperti program BLT atau raskin yang dilakukan pemerintah saat ini). Kebutuhan yang sangat mendasar tersebut harus diberlakukan secara umum sehingga, dapat diakses oleh seluruh warga negara. Pengecualian hanya berlaku bagi warga negara yang memiliki kemampuan lebih sehingga, memilih akses terhadap pendidikan dan kesehatan di luar fasilitas yang disediakan oleh negara.

Bersamaan dengan itu, ada upaya untuk melikuidasi semua produk hukum dan politik yang berbau imperialis, seperti UU nomor 22 tahun 2001, UU nomor 25 tahun 2007, tentang penanaman modal, UU nomor 13 tahun 2003, UU sumber daya air, dan produk hukum lainnya. Semua perjanjian-perjanjian dan kesepakatan yang menyangkut WTO dan lembaga-lembaga imperialis lainnya harus dibatalkan, sambil memikirkan model kerjasama perdagangan antara bangsa-bangsa dalam kerangka baru dengan prinsip kesetaraan dan solidaritas.

C. Kesimpulan

Perjuangan untuk lepas dari jepitan Imperialisme bukanlah perjuangan sederhana, bukan pekerjaan sehari-dua hari, apalagi jikalau diletakkan kepada kekuatan yang relatif kecil. Demikian pula dengan perjuangan mewujudkan masyarakat baru, sebuah masyarakat yang terdiri dari ratusan juta insan alqamiel yang hidup dengan bahagia di bawah kolom langit buatan Allah SWT membutuhkan keteguhan dan keuletan yang kokoh. Kedaulatan nasional dan kemandirian ekonomi sebagai prasyarat membebaskan tenaga produktif dari keterbelakangan, saat ini masih tertawan terutama oleh hegemoni Imperialisme dan juga oleh pengkhianatan para elit politik kita yang bermental “inlander”. Dalam keruwetan inilah tantangan terhadap sosialisme religius sebagai sebuah konsepsi ideologis yang menawarkan jalan keluar atas persoalan bangsa diletakkan. Bukan hanya sosialisme ilmiah yang akan diuji disitu, tetapi tawaran-tawaran ideologis yang lainpun akan diuji dalam lapangan tersebut.



[1] jamil wasti syed, Islam dan Sosial-Demokratik, Majalah Ummat, 1998.

[2] Lihat Sartono Kartonodirdjo, Protest Movement in Rural Java (Kuala Lumpur; Oxford University Press, 1973); dan Robert Van Niel, The Emergence of The Modern Indonesian Elite (The Hague dan Bandung:Van Hoeve, 1960).

[3] Bung Karno: RE-SO-PIM,-- REVOLUSI—SOSIALISME INDONESIA—PIMPINAN NASIONAL, Amanat Presiden Sukarno pada ulang tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1961, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, jilid kedua, hal. 459, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI 1964.

[4] "Latin America's left turn and the new strategic landscape: the case of Bolivia", Third World Quarterly, Volume 28, Issue 7 October 2007 , pages 1327 - 1342
Diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia oleh NEFOS.org

[5] Sumber: Koalisi Anti Utang (KAU), 2008

[6] Seringkali alasan ekonomi dimanfaatkan aparat keamanan untuk terjun dalam bisnis illegal seperti penyelundupan, pengoplosan BBM, jatah-preman, dan sebagainya yang memperparah kondisi industri dan investasi di Indonesia.

Tidak ada komentar: