Senin, 19 Januari 2009

Cerpen

Tangisan Seorang Laki-laki

Laki-laki muda itu tepekur di atas jembatan layang Pancoran. Selama sepuluh tahun dia melewati jembatan itu pada jam sibuk. Pagi berangkat dan sore pulang kantor.

Runitinas selama sepuluh tahun berlangsung biasa. Hingga pada suatu sore, laki-laki muda itu melihat pemandangan aneh. Ketika mobil yang dikendarainya melintas di atas jembatan, dia melihat seorang perempuan tua sedang menangis di dekat lampu merah. Anehnya perempuan tua itu menatapnya cukup lama.

Sudah sembilan kali tatapan aneh itu menerpa matanya, di tempat dan waktu yang sama, perempatan lampu merah, di kolong jembatan Pancoran pukul 18.00 WIB. Merasa penasaran, pada hari keduabelas dia lewat kolong dari arah jalan Gatot Subroto langsung lurus ke arah jalan MT Haryono. Anehnya, perempuan tua itu tidak ada! Padahal kemarin sore dia jelas-jelas melihatnya.

Tidak puas, besoknya laki-laki muda itu kembali lewat kolong jembatan layang Pancoran. Namun hasilnya nihil! Untuk beberapa saat laki-laki muda itu terdiam, dia baru sadar setelah mobil di belakangnya membunyikan klakson. Gelagapan dia memasukkan persneling ke gigi satu lantas tancap gas. Dihembusnya nafas kuat-kuat.

“Kemana perginya perempuan tua itu?” gumamnya tak habis pikir. Sebelas hari, di tempat dan waktu yang sama dia melihat dengan mata kepala sendiri perempuan tua itu menangis di dekat tiang listrik lampu merah perempatan Pancoran. Tatapan sendu yang dibarengi linangan air mata, sungguh menyayat-nyayat hati laki-laki muda itu. Seolah dia dibawa ke suatu masa yang berada di bawah bayang-bayang sadarnya. Dicobanya mengingat-ingat, namun tidak bisa.

Besoknya lagi, laki-laki muda itu memutuskan untuk ganti melewati jembatan layang. Siapa tahu kalau lewat jembatan, perempuan tua itu ada. Tepat pukul 18.00 WIB dia sampai di atas jembatan. Dibukanya kaca jendela mobil, jantungnya tiba-tiba berdetak lebih kencang. Benar! Perempuan tua itu ada di sana! Dia berdiri menatapnya sambil berlinang air mata.

Laki-laki muda itu memacu mobilnya. Setelah turun dari jembatan, dia menepi dan nekat parkir di pinggir jalan sebelum pertigaan Gelael. Dengan sekuat tenaga dia berlari ke arah perempatan lampu merah Pancoran. Kali ini dia ingin bertemu perempuan tua itu.

Orang-orang yang melihat laki-laki muda itu berlari-lari ke arah perempatan Pancoran keheranan.

“Gila tuh orang, seperti dikejar setan aja,” kata seorang pelajar berseragam abu-abu putih yang nyaris tertabrak laki-laki muda itu.
Seorang ibu-ibu yang sedang berjalan ke arah yang berlawanan benar-benar tertabrak sehingga tas yang ditentengnya jatuh. “Hei, lihat dong! Main tabrak aja!”

Laki-laki muda itu tidak peduli. Kali ini dia harus bertemu dan berbicara dengan perempuan tua itu. Pada saat berlari itu samar-samar dia membayangkan seraut wajah. Wajah yang lama dikenalnya tetapi entah di mana? Ketika seraut wajah itu hampir jelas tergambar tiba-tiba saja kabur. Sepertinya ada kabut tipis yang menutupinya.

Sampai di dekat lampu merah perempatan Pancoran, laki-laki muda itu celingukan. Ditajamkan pandangan matanya. Sekarang dia berada satu meter dari tiang lampu merah, namun perempuan tua itu raib entah ke mana. Digosok-gosok matanya, tetap saja tidak ada.

“Dik, lihat ibu tua yang tadi berdiri di sini?”
Dia bertanya pada pengamen yang berdiri tak jauh darinya.
“Ngak, Om, saya baru saja sampai.”
Sekali lagi laki-laki muda itu celingukan. Saat dia berlari ke arah perempatan Pancoran paling hanya lima menit. Namun perempuan tua itu sudah lenyap. Seberapa cepat dia bisa menghilang di keramaian lalu lintas pada jam-jam sibuk seperti ini?

“Jangan-jangan dia naik metro mini atau mikrolet yang suka ngetem di dekat perempatan sambil menunggu lampu merah berganti hijau,” pikir laki-laki muda itu.

Dia lantas merasa tidak mungkin menemukannya. Sebab, dalam waktu lima menit angkutan umum yang dinaiki perempuan tua itu bisa saja sudah menempuh jarak beberapa kilo. Merasa tidak berhasil, laki-laki muda itu lantas meninggalkan perempatan Pancoran.
“Kamu harus temukan perempuan tua itu.”
Laki-laki muda itu bicara sendiri.
“Ke mana kamu menghilang, perempuan tua. Bantulah aku mengingat kembali siapa diriku. Aku ingin tahu masa laluku. Aku ingin tahu darimana asal-usulku. Hanya kamu yang bisa membantuku.”

Malam harinya, laki-laki muda itu tak bisa tidur. Membayangkan wajah perempuan tua yang sedang menitikkan air mata, membuat laki-laki itu miris. Merasa tidak bisa menguasai kegelisahannya, laki-laki itu memutuskan untuk ke jembatan layang Pancoran.

Malam masih menyisakan remang dan menyebar hawa dingin. Meskipun di bawah jembatan ada penerangan lampu namun tidak sebenderang kala mentari mengirimkan hangatnya ke bumi.

Tiba-tiba dari arah jalan Supomo tampak sesosok bayangan. Jantung laki-laki itu berdetak lebih kencang. Tak salah lagi, dia adalah perempuan tua yang dicarinya!

Perempuan tua itu memandangnya sendu dan pelahan air matanya mengalir menelusuri pipinya yang keriput. Bertemu dengan perempuan tua tersebut dalam suasana dingin, sepi dan jauh berbeda dengan biasanya, membuat laki-laki itu terbayang peristiwa sepuluh tahun lalu.

Ya, perempuan tua itu mengingatkan dia kepada ibunya.
Saat berusia sebelas tahun, laki-laki itu tinggal bersama kedua orang tua dan lima saudaranya. Dia anak terkecil. Lingkungan tempat tinggalnya adalah perkampungan kumuh di kota Pontianak. Ayahnya pengguran dan suka berjudi. Ibunya menjadi pembantu rumah tangga untuk menghidupi keluarga. Kakak-kakaknya bersekolah hanya sampai SD. Setelah tamat SD mereka cari makan sendiri-sendiri.

Kelima kakaknya itu jadi preman, mencari uang dengan jalan haram dan merugikan orang lain. Ada yang jadi pencopet, maling, penodong, penjambret dan sejenisnya. Kelima kakaknya semua laki-laki. Memang lingkungan tempat tinggalnya buruk, semua penghuni bekerja seperti itu. Mereka suka berjudi dan minum-minum.

Laki-laki itu suka ikut ibunya bekerja di rumah Pak Danu. Majikannya yang bekerja di BUMN, menyukainya karena dia rajin, selalu mendapat ranking di sekolah, selalu shalat dan sangat sopan. Dia berbeda dengan kelima kakaknya dan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Ibarat mutiara dalam lumpur, dia tampak berkilau. Jadi, ketika Pak Danu mutasi ke Jakarta, anak laki-laki itu dibawanya. Ibunya sangat sedih, sebab hanya anak bungsunya tumpuan harapannya. Namun demi masa depan yang lebih baik sang ibu merelakannya. Semalaman si ibu mendekapnya saat tidur dan membasahi rambutnya dengan air mata.

Perempuan tua itu telah membuka kembali ingatannya. Laki-laki itu menitikkan air mata. Ya, alangkah berdosanya dia. Ibu yang begitu tulus dan menyayanginya, dilupakan begitu saja karena dirinya sibuk bekerja di Jakarta.

“Maafkan aku, Ibu, aku memang anak durhaka yang tidak tahu berterima kasih.”

Air mata laki-laki itu terus mengalir membasahi kedua pipinya. Dia merasa telah menjadi anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya. Sekarang baru disadari kalau selama ini dia terlalu mengejar impiannya hingga melupakan asal-usulnya. Semua itu terjadi seperti air mengalir dan tidak disadarinya. Karena, setiap manusia menginginkan perubahan dalam hidupnya.

Semula laki-laki itu hanya menginginkan untuk menjadi salah satu yang terbaik. Dia ingin menunjukkan kepada keluarga dan masyarakat bahwa tidak semua keluarga buruk itu akan menjadi buruk pula. Namun di sisi yang lain, ada perasaan malu mengakui asal-usul keluarganya yang miskin.

Semakin mengingat ibu dan keluarganya di kampung, laki-laki itu menjadi semakin menyesali perbuatannya. Membayangkan betapa ibunya berjuang sendirian menghidupi keluarga. Membayangkan bagaimana ayahnya hanya berjudi dan suka memukuli ibunya, hatinya terasa pedih. Air matanya terus mengalir.

Tanpa disadari, sinar matahari di ufuk timur mulai menyeruak Menerobos gedung-gedung bertingkat di sekeliling jembatan layang Pancoran. Warnanya yang kuning keemasan memberikan nuansa cerah dan hangat. Lalu lintas menggeliat bergairah. Jalanan pun mulai bernyawa. Namun laki-laki itu masih mematung di atas jembatan layang. Dia semakin keras menangis.

Orang-orang yang lewat heran melihatnya. Laki-laki itu tidak peduli, dia terus menangis meraung-raung. Hingga akhirnya dilihatnya perempuan tua yang menangis itu melambai ke arahnya dan merentangkan kedua tangannya. Laki-laki itu pun tersenyum. Dia ingin menemani perempuan tua itu. Maka, tanpa rasa takut laki-laki itu pun terjun dari atas jembatan Pancoran.( *)

Tidak ada komentar: