Senin, 19 Januari 2009

Jika Aktivis Bermimpi

BIARKAN KAMI
BERMIMPI


Kita adalah apa yang kita
impikan. Seharusnya, semestinya.
Sebab kenyataan lebih sering tidak klop
dengan harapan. Akibatnya, untuk mewujudkan mimpi, kita sering terpaksa melawan
kenyataan. Sulit sekali menyaksikan Takdir hadir dengan menggiring impian
seiring dengan kenyataan. Sehingga, akan lebih mudah mewujudkan impian yang
lebih “nyata” ketimbang menjalani kenyataan dengan penuh “mimpi”.

***

Saya – barangkali – termasuk
yang menjalani kenyataan dengan penuh “mimpi”. Dalam kenyataan itu, saya juga
berhasil menemukan kawan dengan pilihan yang sama. Kemudian, kita menjalani
kenyataan yang sama, yakni dengan
mengingkarinya
. Orang-orang seperti saya memang begitu. Berpikir sebaiknya
begini dan bertindak sebaiknya begitu. Kita jarang sekali berpikir sebagaimana
yang telah ada dan bertindak sebagaimana yang sudah ditetapkan. Kita gemar
membantah apa-apa yang ada dan yang ditetapkan. Kita menolak kepastian.
Imbalannya tentu saja sebuah ketidakpastian. Hidup dalam ketidakpastian pasti
bukan sesuatu yang aman – yang nyaman. Apalagi berharap bisa mapan. Begitulah,
hingga peradaban mengidentifikasi kami sebagai anti-kemapanan.

***

Peradaban Amerika punya istilah
lain buat gerombolan anti-kemapanannya: kaum
bohemian
– penentang kaum yang lebih dahulu eksis, kaum borjuis. Bohemian
Amerika memberontakkan nilai-nilai baru sekaligus menganggap budaya borjuis
usang dan gagal. Mereka meninggalkan kemapanan yang mereka miliki maupun yang
seharusnya mereka peroleh. Sementara, borjuis Amerika bertahan sembari mengejek
budaya bohemian sebagai bentuk frustasi sosial. Kedua kaum ini saling menyerang
dan bertahan dalam keyakinan. Mereka sama-sama meng-klaim kemenangan.

Salah satu tokoh bohemian pada
dekade 70-an, Abby Hoffman menegaskan hal itu dalam pledoi-nya, “Dahulu kalian menganggap kami gila – kami bermimpi.
Namun hari ini – setelah Perang Vietnam terbukti salah, setelah pencemaran
terbukti makin bertambah, setelah banyak nilai-nilai kalian yang runtuh –
kalian harus mengakui bahwa kami benar.” Abby – yang ditangkap setelah
bertahun-tahun bersembunyi, mengganti identitas, berpindah tempat kemudian
dikenai berbagai tuduhan, mulai dari urusan kepemilikan narkoba hingga urusan
makar – akhirnya benar-benar menang: ia dibebaskan. Abby benar, publik Amerika
pun setuju. Potret Amerika ala “Little
House in the Prairie
” memang telah ditinggalkan masyarakat Amerika
kebanyakan. Gambaran anak-anak Keluarga Landon dan anak-anak Keluarga Brady
(Film Brady Bunch) – yang penurut
sudah terganti oleh para pemberontak seperti Dustin Hoffman (dalam film The Graduate) dan Tom Cruise (Risky Bussiness).

Tapi, borjuis Amerika tidak juga
terlalu khawatir. Abby mati bunuh diri. Kabarnya karena depresi. Slogan “Life Fast Die Young”, “Make Love Not War” dan gaya hidup “Psychedelic” dengan sendirinya mengancam
kesehatan bohemian. Kalau tidak bunuh diri karena depresi, sekarat karena AIDS
pasti overdosis karena narkoba.
Kebodohan perilaku bohemian ini membuat borjuis tetap merasa menang. Kata
mereka, ”Kami memang semakin sulit dengan kekalahan ini tapi kami yakin Amerika
akan menuai badai dan sejarah akan berbalik pada kami”, ucap Senator Charles H.
Keating – musuh bebuyutan Larry Flynt – usai kemenangan majalah porno Hustler di Mahkamah Tinggi. Hari ini,
Amerika memang mengalami masa-masa yang paling sulit, gambaran keluarga ala “American Beauty” yang serba kacau-balau
telah ditemukan dimana-mana. Film “Reality
Bites
” membuat anak muda Amerika mulai berpikir dua kali untuk menentang.
Pelawak Eddie Griffin menyebutnya sebagai “disfuctional
family
”. Kita pun segera menebak – kemenangan akhirnya bukan milik
siapa-siapa.

***

Tetapi David Brooks (Bobos In Paradise, The New Upper Class and
How They Got There
– 2000) mencoba lebih bijaksana menyikapi hal ini. Dalam
bukunya itu, ia berusaha mendamaikan pertentangan tersebut. Ia mensarikan
budaya bohemian dan budaya borjuis. Kemudian menyajikan pada Amerika sebuah
impian baru bernama: Bobo – perpaduan
bohemian dengan borjuis
. Brooks memulai cerita Bobo dengan tulisan yang
sangat provokatif – kalau boleh dibilang menggiurkan: “Jika Marx pernah menulis
bahwa borjuis mengambil semua yang suci dan menjadikannya profan (najis, kotor). Bobo mengambil segala sesuatu yang profan dan menjadikannya suci. Bobo
mengambil yang kotor dan materialistis dan mengubahnya menjadi sesuatu yang
tinggi. Bobo mengambil inti aktivitas borjuis, yakni belanja dan mengubahnya
menjadi inti aktivitas bohemian: seni, filsafat dan aksi sosial.”

Bobo
– kata Brooks – memiliki sentuhan kebalikan Midas.

Segala
sesuatu yang kita pegang berubah menjadi jiwa.

Bagi Brooks, bohemian Amerika
sebenarnya telah membuktikan keberhasilannya. Orang-orang seperti Bill Gates
(Microsoft), Oliver Stone (Produser-Sutradara), Marilyn Carlson Nelson (Carlson
Cos) dan Jeffrey Katzenberg (Dreamwork) sejatinya adalah seorang bohemian.
Sebaliknya, borjuis Amerika juga tanggap pada perubahan. Mereka tidak
sungguh-sungguh menentang bohemian. Mereka bertahan. Adalah Burger King yang
berkata kepada Amerika, “Kadang-kadang
Anda Harus Melanggar Peraturan
”. Adalah Apple Computer yang menganggap
penting “Orang-orang gila. Para
pemberontak. Para pembuat onar
”. Adalah Lucent Technologies yang
menggunakan slogan “Lahir untuk menjadi
liar
”. Adalah Nike yang mengimbuhkan kata “Revolution” untuk beberapa produknya.

Namun, kesuksesan bohemian
ternyata justru membawa dilema. Mereka terpana – menatap kenyataan yang
diimpikannya telah menjadi apa yang mereka musuhi di masa lalu. Mereka telah
menjadi kapitalis baru – kapitalis budaya
tanding
, kata Brooks. Microsoft ditentang dimana-mana, Oliver Stone,
Carlson Nelson, Katzenberg jadi kaum mapan baru – meski tetap unik dan nyentrik. Sementara, orang-orang seperti
Paris Hilton (Pewaris Hilton Corp.) justru tak sadar jika sedang mabuk budaya
bohemian. Dimasa kejayaan budaya WASP (White,
Anglo-Saxon, Protestan
), Amerika tidak pernah menemukan gaya hidup orang
kaya-mapan yang liar seperti Hilton bersaudara – berfoto telanjang, main film
porno dan hura-hura. Kedua kutub tersebut
pelan-pelan menemukan kejenuhannya
. Itulah sebab mengapa Woodstock 1999
yang dianggap gagal – kehilangan elan-nya karena terlampau manja pada sponsor
(Coca Cola, McDonalds dan lain-lain) – tetap saja ramai dihadiri orang-orang.
Itulah sebab mengapa sebuah orchestra
bisa bekerjasama dengan hingar-bingar Metallica dan lagi-lagi bisa diterima
publik. Itulah sebab mengapa seorang hiperseks seperti Bill Clinton tetap
menang dalam putaran kedua pemilihan presiden. Karena publik hari ini di
Amerika adalah rekonsiliasi Borjuis-Bohemian. Mereka adalah generasi Bobo, kata
Brooks.

***

Namun Indonesia tidak begitu
rupanya. Jangankan bobo – antara borjuis dan proletar saja tidak pernah jelas
dalam sejarah kita. Meski borjuis dan proletar mengemuka pada jaman revolusi
kemerdekaan namun pertentangan kelas sesungguhnya tidak pernah terwujud. Soekarno
boleh saja bersumpah bahwa ia benar-benar pernah bertemu dengan petani bernama Marhaen
– yang kemudian mengilhaminya untuk membentuk kelas proletar ala Indonesia
bernama Marhaen berikut ajarannya bernama Marhaenisme. Tapi toh sejarah membuktikan bahwa kelas
Marhaen tidak pernah sekalipun
melawan kelas manapun. Soekarno mestinya jujur – jka melihat jenjang pendidikan
yang dicapainya dan selera yang diminatinya – ia sesungguhnya termasuk kaum
borjuis. Marhaen hanyalah retorika Soekarno untuk mengambil simpati kelompok komunis.

Partai Komunis Indonesia juga
boleh merasa pernah mengkonsolidasikan kelas pekerja (buruh-tani). Mereka pun
pernah mencoba kudeta. Dua kali. Tahun 1948 dan 1965 namun keduanya gagal. Tapi
saya meragukan bahwa kudeta PKI adalah pertentangan kelas. Kegagalan kudeta
menunjukkan bahwa pertentangan kelas yang diharap-harap PKI lebih berorientasi
pada kekuasaan – bukan kebudayaan. Sehingga yang terjadi adalah retorika elit PKI untuk berkuasa secara
absolut
. Saya bahkan meragukan adanya kelas proletar di Indonesia semasa
PKI berjaya. Sebab, diantara semua elit PKI hanya Syam yang benar-benar lahir
dari komunitas buruh (semasa mudanya, Syam adalah kuli pelabuhan di Tanjung
Priok) sementara yang lain adalah kelas terdidik yang kepincut komunis –
terpukau oleh Revolusi Bolshevik (Rusia) dan Revolusi Kebudayaan (Cina). Yang
jelas, PKI telah gagal menciptakan budaya
tanding
.

Jadi memang sulit merefleksikan
apa yang terjadi di Amerika dengan Indonesia. Bagi saya, persoalannya ada pada
“identifikasi”. Indonesia memang pernah memiliki penguasa yang dapat dengan
mudah menyingkirkan ambisi perubahan. Kita memang pernah menjumpai orang kaya
yang punya mobil mewah, rumah megah dan harta berlimpah serta hidup penuh
hura-hura. Kita memang punya pemimpin agama yang enteng mengeluarkan fatwa demi kepentingan politik, yang gemar
mengajak damai tapi mudah diadu-domba. Namun apakah semua itu dapat dipastikan
sebagai tindak-tanduk borjuisme? Dan sebaliknya - apakah semua orang miskin,
orang bodoh dan orang tertindas pasti adalah proletar? Tidak – saya jawab dengan tegas. Borjuis dan proletar hanya ada
dalam konteks “perlawanan” dan “benturan”. Selama orang miskin pasrah dan bodoh
bukan masalah maka tak akan pernah jelas siapa yang menindas-siapa yang
tertindas. Selama tidak ada pertentangan maka kelas sosial selalu dalam kondisi
larut.

Kalaupun prasyarat pertentangan
terpenuhi – perlawanan terbentuk dan benturan telah terjadi, kunci selanjutnya
ada pada “budaya tanding”. Jika kelompok yang melawan kemapanan tak mampu
menghasilkan budaya yang kompetitif maka kelompok tersebut hanya akan melakukan
pertarungan politik biasa. Hasilnya pun, juga biasa, cerita lama tentang alih
kekuasaan – sekedar regenerasi borjuis. Perlawanan inilah yang dilakukan oleh
bohemian Amerika. Mereka tidak sekedar melawan secara politik namun secara
serius memproduksi budaya tanding kemudian mempraktekannya. Mereka bisa berasal
dari kelas sosial mana pun, tidak terbatas pada kelompok terdidik, selama
se-ide dan mau berkompetisi dengan kemapanan.

Nah, soal urusan rekayasa budaya agaknya kita
mesti mengacungkan jempol pada Soeharto. Ia berhasil menciptakan budaya
otoritarian yang nyaris tanpa penentangan yang cukup berarti. Setiap upaya penentangan
pasti diredam dengan tanpa menimbulkan protes dan simpati yang berkelanjutan.
Masyarakat sebentar berteriak tapi kemudian kembali normal lalu dengan mudah
melupakan – memaafkan. Dan memang, budaya masyarakat otoritarian selalu begitu.
Mereka lebih berorientasi pada keamanan, ketertiban, ketentraman, kenyamanan
dan kestabilan. Orang-orang semacam ini – oleh Alex Inkels dikatakan – sangat
tergantung pada otoritas. Mereka tidak akan melakukan inisiatif jika tidak
punya wewenang dan tidak diperintahkan. Pasif, takut untuk mandiri dan enggan
berbeda. Orang-orang ini juga sulit menerima perubahan atau sesuatu yang baru.
Soeharto memang sudah lengser tapi kesuksesannya masih bergema. Ini dapat
terlihat dari ekspektasi masyarakat hari ini – Pemilu Pilpres 2004: mereka kembali memilih ketentraman,
kenyamanan dan stabilitas serta sekaligus mempertahankan kepasifan
.

***

Fakta-fakta semacam ini
menunjukkan – seharusnya – pilihan untuk menjadi bohemian, berani berbeda, menolak kemapanan dan hidup dengan mimpi
di Indonesia adalah tidak tepat atau bahkan mesti dihindari. Tapi nyatanya
tidak. Orang-orang seperti ini terus saja lahir dan besar – meski nantinya toh mati. Kemarin lalu dua orang jujur –
Pak Mochtar Lubis dan Pak Hoegeng – meninggalkan kita, menghadap Sang Khalik.
Pak Mochtar Lubis adalah wartawan yang menolak ikut arus – ia teguh pada
nurani. Ketika orang-orang takut Soeharto, dia tidak turut. Ketika orang
menyembah-nyembah Soekarno, lewat tulisan – dia malah marah-marah. Pak Hoegeng
juga begitu. Ia menolak sogokan untuk beralih ke duta besar dari jabatan
Kapolri, setelah dicopot Soeharto hanya karena ia terlalu jujur dan berani - dua
sifat yang bertentangan dengan “kemapanan Indonesia”. Nasib orang-orang ini
juga hanya begitu: dipuja-puji namun tetap saja diasingkan dan dikucilkan -
dipenjara. Sejenak, orang dapat dengan mudah kagum dan takjub pada mereka namun
untuk menjadi “mereka”, nanti dulu.
“Stabilitas bisa terganggu”, begitu alasannya -tentu.

Dengan demikian, wajar saja jika
peristiwa “pengkhianatan intelektual dan moral” terus berulang di Indonesia.
Para aktivis mahasiswa yang dahulu mengecam habis Golkar-Orde Baru akhirnya toh melebur juga kedalamnya. Para
pengamat, akademisi dan wartawan yang dahulu terlihat bulat netral akhirnya
semakin jelas kearah mana lonjongnya. Satu-satunya yang seharusnya tidak perlu
dianggap suatu fenomena adalah ketika industri budaya dengan segala
selebritasnya masih terus bergumul dengan popularisme karena memang selama ini
gagal berbuat banyak pada budaya nasional. Mereka pada akhirnya patuh pada
naluri publik yang “pasti-pasti saja”.
Publik yang pasti lebih menggemari
sesuatu yang sopan, tenang dan berwibawa ketimbang yang kritis, meledak-ledak
dan apa adanya. Publik yang pasti
maha pengampun dan tidak pernah kapok. Itu sebabnya mengapa negeri ini tidak
pernah mengadili seorang presiden pun meski ia berhasil kita jatuhkan dan telah
mengemuka kesalahannya. Itu sebabnya mengapa orang-orang yang tinggal di daerah
rawan banjir tetap kekeuh tak mau
pindah namun tidak juga berbuat sesuatu untuk lingkungannya. Kebanyakan orang
memang sadar bahwa cara terbaik untuk
tetap hidup adalah berdamai dengan kenyataan dan tunduk pada nasib
.

Fakta-fakta seperti ini juga
yang mungkin membuat banyak bohemian
Indonesia menjadi lebih lunak. Lingkungan dimana saya berinteraksi misalnya,
sering berkumpul anak-anak penggemar musik underground,
aktivis-aktivis kemanusiaan, pro-demokrasi, anti-globalisasi dan semacamnya.
Mereka – boleh-boleh saja mengaku bohemian
hanya karena merasa punya prinsip dan cita-cita mulia. Tapi pada kenyataannya,
mereka (dan saya) masih menikmati fasilitas-fasilitas kaum borjuis. Kami masih
menyukai nongkrong di café (meski
saya tidak terlalu sering) dan juga masih tunduk pada busana necis kala harus
menghadiri acara formal. Bahkan – jika mengukur dari produktivitas –
sesungguhnya kami malah proletar. Kebanyakan para aktivis itu belum mampu
menciptakan kemandirian berekonomi - masih bergantung pada kekerabatan (numpang
mertua, ikut kakak atau terkadang malah menetap di sekretariat). Sehingga
secara satire kami sering
menertawakan diri: “Kepala boleh saja Marxis, hati boleh Gandhi tapi perut
tetap saja ingin borjuis!”

***

Pada akhirnya kita harus
mengakui bahwa menjadi bohemian di Indonesia memang sulit. Ia sepertinya bukan pilihan tapi pengorbanan. Kalaupun kita rela,
jumlahnya tetap saja terlalu sedikit – itupun tidak terkonsolidasi dengan baik.
Jadi jangan berharap mencapai kesuksesan disini. Itu perlu waktu lama dan
bahkan anda bisa tak sempat menikmati. Kita juga tidak bisa serta merta mengaku
telah menjadi bobo karena kaum bobo hanya lahir ketika bohemian mencapai
kemapanan dan borjuis mencapai kejenuhan. Bohemian Indonesia belum matang dan
para borjuisnya tak pernah merasa bosan.

Ketika kita menyadari ini semua,
pelan-pelan angin keputusasaan mulai membelai. Haruskah kita berhenti bermimpi?
Inikah saatnya kita melempar handuk kekalahan? Waktunya untuk menyerah? Terserah. Sebab, tidak mudah juga
menghapus mimpi, mengubur harapan dan menghentikan hasrat untuk berbuat. Para
bohemian Indonesia ini mengatakan pada saya, “ini soal cinta, bung!”. Yang lain
menegaskan dengan agak angkuh, “Ini soal tanggungjawab dan moral”. Kawan saya
di milis coba melembut, “Ini soal pilihan, John.”

Dan itu memang benar. Orang-orang
seperti mereka, para bohemian Indonesia – yang jarang dihampiri kemenangan –
sesungguhnya tidak pernah mengerti “kalkulasi”, “kesempatan” dan “kemampuan”.
Mereka bodoh dalam menghitung untung-rugi, menilai kesempatan dan mengukur
kemampuan. Mereka adalah orang-orang yang sangat mendahulukan proses –
mengabaikan hasil. Bahagia dalam pengorbanan – seolah menikmati penderitaan.
Mereka – sepintas – seperti seperti sadomakis.
Mungkin begitu yang lain mengejeknya. Biarlah.
Bukankah, Foucault mengatakan itu variasi
dari kesenangan
?

Para bohemian Indonesia memang
tak perlu menanggapi pelecehan itu. Kita tak harus memusuhi mereka. Kita tak
bisa merasa lebih suci dari mereka. Kita bukan siapa-siapa. Kita belum apa-apa.
Cukuplah kita “nyenyak dalam bermimpi”. Biarkan.
Jangan dibangunkan. Karena dunia
butuh mimpi – terutama ketika kenyataan sudah mulai membosankan – agar hidup
tidak sekejap lalu mati. Kita butuh harapan supaya gairah tetap berarti. Kita
butuh doa supaya Tuhan terus ada di hati. Meski begitu, tidak perlu alasan yang pasti dalam meyakini mimpi. Ini kesimpulan – buat saya, tapi mungkin
saja tidak – buat anda.

Untuk itu dengarkan saja alasan Butet
Manurung yang meninggalkan gelar sarjana dan mendedikasikan hidupnya untuk
mengajar anak rimba di di pedalaman Sumatera, “Ini bagian dari cita-cita masa
kecil saya: menjadi Indiana Jones.” Atau Edmund Hillary – sang penakluk Puncak
Everest, saat ditanya mengapa harus mendaki, “because it’s there – karena ada gunung, karena gunung ada.”
Sesederhana itu. Sebegitu saja. Cukup.
Tak perlu jelas makna, sarat cerita dan masuk logika. Wallahualam bi shawab.

***

(Ini untuk kamu yang terus
mempertanyakan cintaku)

Tidak ada komentar: