Minggu, 04 Januari 2009

Mencari Ruang Kosong atau Membokongi Realitas? Tanggapan untuk Catatan KOMPAS

Mencari Ruang Kosong atau Membokongi Realitas? Tanggapan untuk Catatan KOMPAS



Harian KOMPAS telah memberikan ulasan akhir tahun mengenai gerakan mahasiswa (GM) Indonesia, yang dimuat di edisi 10 Desember 2008, dengan judul “ Ruang Kosong Gerakan Mahasiswa, dengan penulis, M Hernowo. Menurut saya, catatan evaluatif kompas yang diolah dari berbagai sumber, terutama aktifis mahasiswa dari organisasi pergerakan Cipayung, belum bisa dijadikan kesimpulan objektif terhadap kondisi gerakan mahasiswa Indonesia saat ini.

Dalam catatan tersebut, disebutkan bahwa penyebab kemunduran GM adalah gerakan mahasiswa tidak punya ruang kosong dalam mengolah gerakan, kapasitas organisasional, dan orientasi politiknya. Beberapa ruang –ruang yang sebelumnya di isi oleh gerakan mahasiswa, seperti memperjuangkan melawan kediktatoran orba, sudah dimasuki juga oleh sektor sosial yang lain, termasuk partai politik, sehingga ada kesan mahasiswa mengalah.


Memperdebatkan Ruang Kosong

Menurut saya, istilah ruang kosong merupakan konsep yang absurd. Menurut saya, perkembangan sosial masyarakat, yang meliputi relasi sosial, ekonomi, dan politik, merupakan ruang utama dari gerakan mahasiswa. Dengan melirik sejarah, GM tidak pernah lepas dari kontesk ekonomi dan politik yang melingkupinya. Kendati GM banyak dipicu oleh momentum-momentum politik, tetapi kelihatan jelas bahwa gerakan mahasiswa selalu mencoba mendefenisikan persoalan yang dihadapi rakyat, pemihakan politik, serta kecakapan dalam mengarahkan tujuan-tujuan pergerakan.

Sekarang ini, menurut saya, ruang gerakan mahasiswa belum jauh bergeser dari agenda perjuangan sebelumnya. Persoalan ketertindasan ekonomi dan politik, terutama yang dirasakan mayoritas rakyat, merupakan problem pokok yang pernah teratasi sejak era kolonia, Indonesia merdeka, hingga jaman reformasi ini. Inilah ruang kontestasi gerakan mahasiswa. Yang berbeda adalah perumusan strategi politik, yakni seni mendefenisikan siapa kawan, siapa musuh, dan sektor tertentu yang perlu dirangkul dalam fase histories tertentu.

Kemunduran dan kemajuan (uprising) gerakan bergantung pada kesanggupan GM merumuskan tujuan dan orientasi politiknya, cara pandang (analisis) terhadap situasi yang berkembang, struktur sumber daya (ideology dan logistic), serta kemampuan merumuskan strategi dan taktik perjuangan.
Sehingga pencarian ruang kosong, seperti yang dimaksudkan artikel tersebut, lebih bermakna pelarian mahasiswa dari situasi konkret yang dihadapinya. Hal semacam ini sudah menjadi langganan bagi organisasi cipayung, karena ketidakmampuan mereka menemukan alat analisa, konsep dan orientasi politik, sumber pendanaan yang cukup independent, serta merumuskan strategi dan taktik perjuangan.

Tantangan Gerakan Mahasiswa

Beberapa tawaran yang diajukan oleh sejumlah pimpinan organisasi mahasiswa Cipayung bukan menjawab persoalan utama gerakan. Cara pandang mereka dominan masih dipengaruhi, setidaknya yang diwariskan oleh orde baru, bahwa tugas menjadi aktifis pergerakan adalah temporer (hanya semasa menjadi mahasiswa), sehingga senantiasa berfikir bahwa GM hanya merupakan batu loncatan meniti karir politik di negeri ini. Tak heran, kelompok cipayung lebih banyak berjibaku pada masalah remeh temeh politik, ketimbang menyusun konsep dan orientasi gerakan yang sifatnya strategis.

Menurut saya, setidaknya beberapa persoalan berikut merupakan tantangan utama pergerakan; pertama, kemiskinan dan persoalan sosial yang dialami oleh rakyat mungkin sudah sampai pada taraf yang paling dasar, serta sudah tak dapat lagi mentoleransi perubahan harus menunggu 2014, atau seterusnya. Kedua, sudah lama suara-suara politik dan aspirasi kalangan bawah seperti pekerja, petani, kaum miskin kota, dan sektor sosial termarginalkan lainnya tidak terdengar dalam kancah politik formal, terutama di Parlemen dan jabatan-jabatan politis. Suara sektor sosial tertindas begitu nyaring terdengar di jalanan, tapi tidak terserap dan menjadi agenda perdebatan di pusat-pusat pengambilan kekuasaan (parlemen dan eksekutif). ketiga, partai yang menjadi alat politik massa untuk mengekspresikan cita-cita masa depan, ternyata tidak punya infrastruktur ideology yang jelas. Mereka bertarung atas dasar kepentingan pribadi dan golongan, bukan berbasiskan kepentingan rakyat.

Kedepan, seharusnya gerakan mahasiswa mulai menciptakan alat politik bersama, yang merangkai bukan saja aktifis mahasiswa, tapi sektor sosial lainnya (pekerja, petani, miskin kota, dan pengusaha nasional) yang menjadi korban neoliberalisme. Alat politik bersama ini, entah berbentuk blok politik, partai, atau persatuan, akan menjadi kendaraan politik permanen, untuk mengantarkan gerakan mahasiswa pada pencapaian terminal akhir; Indonesia yang makmur dan mandiri!

Tidak ada komentar: