Senin, 26 Januari 2009

Menyoal Problem Kepemimpinan Indonesia

Menyoal Problem Kepemimpinan Indonesia


LEADER or leadership is one of the most observed but the least understood phenomena on earth," demikian kata seorang pakar kepemimpinan dunia, James McGregor Burns.

Maksud pernyataan itu adalah di mana-mana kita melihat pemimpin atau kepemimpinan secara formal, tetapi fenomena pemimpin atau kepemimpinan secara substansial masih amat jarang adanya.

Jika kita melihat pemimpin tingkat nasional, dari presiden hingga menteri, maupun di tingkat daerah, seperti gubernur dan bupati sampai ketua RW atau RT di Indonesia akhir-akhir ini, hal itu tampak terjadi. Para pemimpin kita banyak yang bermental suka dilayani, tetapi jarang yang mau melayani dan menyuarakan aspirasi rakyat.

Hasil pengamatan para pakar tentang kepemimpinan, sangat menyedihkan kita semua. Mereka menyatakan bahwa orang yang duduk di kursi pemimpin belum tentu mempunyai kepemimpinan. Di antara mereka ada yang mempunyai kemampuan manajerial, tetapi bukan seorang yang mempunyai kemampuan memimpin. Yang lebih parah lagi, banyak di antara mereka yang duduk di kursi pemimpin, tetapi bukan manusia yang punya kemampuan memimpin dan tidak mempunyai kemampuan manajerial sama sekali.

Orang yang paling ideal menjadi pemimpin adalah orang yang mempunyai kemampuan manajerial dan kepemimpinan sekaligus. Prof Zaleznik dari Universitas Harvard mengatakan, meskipun kondisi ideal itu tidak mudah ditemukan, realitasnya senantiasa ada.

Senada dengan yang di atas, para ahli psikologi kepemimpinan menegaskan, sekarang banyak organisasi yang over managed (diatur secara berlebihan), tetapi underled (kurang dipimpin). Padahal, hari ini dan esok kita berada dalam era penuh ketidakpastian, turbulensi, dan kebingungan. Karena itu, kita butuh seorang pemimpin dan kepemimpinan. Jadi tidak cukup seorang "manajer" saja.

Dalam keadaan multikrisis yang dialami bangsa Indonesia seperti saat ini, secara umum sangat dibutuhkan tiga fungsi utama pemimpin atau kepemimpinan. Pertama, visi yang jelas dengan arah yang menatap jauh ke depan. Dengan begitu, pemimpin dapat mengomunikasikan program dan kebijakannya kepada rakyat untuk bergerak ke masa depan yang lebih progresif.

Kedua, kemampuan aligning people (menyatukan rakyat). Maksudnya adalah kemampuan mengikat orang-orang untuk bersatu, berjajar, serta sejajar maju bersama untuk bergerak menuju ke arah perwujudan visi yang telah digariskan.

Ketiga, inspiring and motivating. Seorang pemimpin harus mampu mempengaruhi "hati dan pikiran" pengikut dan semua rakyatnya. Jika seorang manajer hanya punya "pengaruh secara tidak langsung", maka seorang pemimpin harus punya "pengaruh langsung" kepada bawahan, pengikut, serta semua rakyat.

Trifungsi utama pemimpin atau kepemimpinan di atas dapat kita bedakan dengan tiga fungsi utama manajer, yaitu perencanaan dan penganggaran, pengorganisasian dan pelaksanaan, dan pengawasan.

Oleh karena itu, untuk mengentaskan bangsa Indonesia dari krisis dan mengangkat harkat bangsa Indonesia menuju masa yang mencerahkan, kombinasi kompetensi kepemimpinan dan manajerial adalah sebuah hal yang ideal. Jika tidak memungkinkan, hendaknya paling tidak mempunyai jiwa dan fungsi kepemimpinan sebagaimana diuraikan di muka.

Akar pemimpin bangsa

Jika kita telusuri kembali sejarah bangsa Indonesia, akan tampak bahwa sumber utama munculnya pemimpin bangsa ini adalah kampus, organisasi keagamaan, dan bisnis. Sejak fajar abad kedua puluh (1908), dunia kampus telah melahirkan pemimpin untuk kebangkitan nasional.

Pada masa penjajahan, "kampus" menampakkan wujudnya dalam AMS (SMA), HBS dan Mulo (SLTP). Pada tempat itulah para kiai, ustadz, guru, dan tokoh nasional menggodok jiwa-jiwa "budak" untuk bangkit melawan penjajah menuju kemerdekaan bangsa. Dengan tempaan para tokoh itu, visi, inspirasi, serta motivasi kepemimpinan dapat menghunjam pada dada para pemuda dengan mantap.

Sumpah Pemuda (1928) juga lahir untuk memutuskan sekat-sekat suku dan agama yang sering menimbulkan konflik. Visi dan motivasi para pemimpin dari semua agama dan suku menyatukan pemuda dari berbagai suku dan bermacam latar belakang agama dengan cita-cita persatuan dan kemerdekaan bangsa. Saat menjelang tahun 1945-lah, baru muncul sumber baru kepemimpinan yang berasal dari opsir (perwira) PETA didikan penjajah Jepang selama 3,5 tahun.

Jenderal Clausewitz, ahli strategi besar yang amat terkenal dari Jerman, mengatakan bahwa perang tidak melahirkan seorang jenius besar, tetapi melahirkan seorang pemimpin. Pengalaman kepemimpinan yang ditempa dalam waktu lama tentu akan membawa seseorang menjadi makin matang sebagai pemimpin.

Pengalaman yang berat seperti keadaan perang tentu lebih banyak melahirkan sosok pemimpin jika pengaderan kepemimpinan dikelola dengan baik. Dalam keadaan normal (bukan perang), seharusnya pengaderan kepemimpinan hendaknya lebih diperhatikan secara serius dan profesional.

Berdasarkan realitas di atas, sejarah bangsa Indonesia sampai hari ini menunjukkan bahwa kampus adalah sumber utama pemimpin atau kepemimpinan. Sayangnya, pemerintah sering tidak "bersahabat" dengan kampus sehingga pengaderan kepemimpinan bangsa tidak terprogram dengan baik. Pengalaman besar dari para aktivis kampus lebih banyak ditonjolkan sisi negatifnya. Begitu juga dengan larangan mahasiswa untuk berkiprah dan berkreativitas melalui kebijakan NKK/BKK yang cenderung mengebiri munculnya kader pemimpin baru.

Betapa indahnya jika kita memberi kesempatan menambah ilmu kepada aktivis mahasiswa, sesudah mereka menjadi pemimpin di kampus masing-masing. Seleksi kepemimpinan di kampus harus terus dimatangkan dengan pengembangan ilmu pengetahuan.

Dengan program itulah akan lahir sosok Soekarno muda, Hatta muda, Syahrir muda, Supomo muda, dan banyak lagi kader pemimpin bangsa yang tumbuh dan mengakar ke bawah. Merekalah sosok-sosok pemimpin yang berjiwa kenegaraan dan mempunyai kemampuan intelektual yang meyakinkan. Dengan begitu, nantinya yang muncul bukan hanya pemimpin karbitan dan bukan pula kader jenggot seperti sekarang ini.

Jika dibina secara berjenjang, mantan pemimpin-pemimpin kampus itu kelak akan menjadi pemimpin masyarakat sipil yang kuat. Sebab, sejak awal mereka telah terseleksi di kampus secara demokrasi dan rasional. Oleh karena itu, sudah saatnya secara terarah masyarakat Indonesia mulai menilai dan menyeleksi dari pemimpin tingkat daerah masing-masing, siapa saja yang dapat maju terus ke tingkat nasional. Kompetisi demokratis di dalam lingkup kecil akan mematangkan diri seorang pemimpin ketika berkiprah dalam dunia yang luas.

Dalam usaha mencari pemimpin yang berkualitas, negara-negara tetangga, seperti Singapura, memberikan dukungan nyata pada sumber daya manusia yang baik dan berbakat dengan mengalokasikan anggaran negara dan pembinaan yang serius. Sejak dua dekade lalu, mereka lakukan hal itu dengan membina kader, termasuk di dalamnya memberi gaji yang pantas dalam jabatan pemerintah. Hal itu juga sebagai upaya agar tidak terjadi brain drain dan korupsi dalam birokrasi pemerintah.

Peter F Drucker pernah memberikan sinyalemen tentang rendahnya kualitas birokrat pemerintah dibandingkan dengan swasta akibat rendahnya gaji birokrat pemerintah. Karena tidak dibina dengan baik dan diberikan kesempatan yang luas, jangan heran jika banyak otak Indonesia tamatan luar negeri lebih memilih bekerja di negara tetangga.

Dalam era reformasi yang berjalan tersendat-sendat ini, era kader jenggot dan karbitan sudah harus dibuang jauh-jauh. Di sisi lain, pemerataan antargolongan tetap harus diperhatikan agar kecemburuan sosial tidak selalu menghantui kemajuan bangsa. Kemajemukan adalah persoalan politis yang harus selalu dikelola dengan hati-hati. Dengan begitu, setiap kompetisi pribadi dan golongan tidak berjalan secara sensitif dan berhawa saling curiga, tetapi dengan fair dan sehat.

Sejak dalam era jayanya ABRI dan setelah berakhirnya kombinasi kepemimpinan puncak nasional oleh tentara dan sipil (Sultan Hamengku Buwono dan Adam Malik), saya telah mengingatkan akan kemungkinan timbulnya kecemburuan sosial dari orang-orang kampus. Hal itu dikarenakan orang pertama dan kedua negeri tercinta yang amat majemuk ini hanya dari satu angkatan, satu suku, dan satu golongan.

Sudah saatnya "equal opportunity" harus dibuka selebar- lebarnya untuk menjaring kader-kader yang berkualitas dalam menghadapi era globalisasi dan kompetisi ini. Dengan begitu, sosok pemimpin Indonesia ke depan benar-benar seorang pemimpin yang mengakar ke bawah, berpengalaman, mempunyai visi ke depan, sanggup mengentaskan bangsa dari krisis, dan mampu meninggikan harkat martabat Indonesia tercinta.

1 komentar:

ahmad fahri huseinsyah mengatakan...

blog nya bagus,artikelnya interaktif,follow back ya mas : http://sangpenggugah.blogspot.com/ :)