Rabu, 07 Januari 2009

Perang Ekonomi di Jalanan

Perang Ekonomi di Jalanan



Di abad ke 17, ketika kapitalisme mengawali pertumbuhannya di Eropa, khususnya Inggris, ia menyingkirkan secara paksa para petani dan keluarganya dari ladang-ladang pertanian, dan memaksa mereka beramai-ramai ke kota sebagai tenaga kerja upahan. Ini bukan sekedar sebuah konsekuensi dari transformasi sistim produksi, tapi juga merupakan watak dari sebuah sistim produksi yang dikendalikan oleh segelintir orang yang disebut “pemilik”.

Di Indonesia, kegagalan strategi industrialisasi bukan saja menempatkan bangsa ini tergantung kepada bangsa lain, tempat perekrutan tenaga kerja berupah murah, serta pangsa pasar terbesar, tapi juga yang terpenting adalah mayoritas rakyatnya menjadi bergantung pada sektor informal yang terkonsentrasi di perkotaan. Seperti di catat oleh KOMPAS, bahwa Sekitar 61,5 persen dari pekerja, atau 60 juta dari 97 juta pekerja, pada tahun 2008 bekerja di sektor informal. Gelombang besar peningkatan jumlah pekerja di sector informal, terutama terjadi sejak krisis ekonomi tahun 1997, yang juga merupakan babak pertama kemunculan neoliberalisme di Indonesia.




Semua Terlempar Ke Jalanan

Pak Sukiman (43 Th), seorang penjual buah keliling, pada awalnya adalah seorang petani di Tegal, Jawa Tengah, karena pertanian tak lagi sanggup memenuhi kebutuhan keluarganya, maka ia pun memutuskan ke Jakarta. Di tempat baru ini, dimana hukum ekonomi bekerja bukan saja berdasarkan rumus-rumus akademik, tapi juga memaksakan kompetisi social untuk bertahan hidup, ia terpaksa menjadi salah seorang dari ratusan, bahkan jutaan rakyat Indonesia yang dipaksa bertarung di jalanan. Pagi itu, ketika aku bertemu dengannya, ia menangisi kompetisi yang tidak adil ini, dan tentu saja sebuah hukum yang begitu rumit untuk dipahaminya.

Di desa-desa, yang sebelumnya masih sedikit memberi harapan pada banyak orang untuk bertahan hidup, kini karena kekuasaan modal dengan seenaknya dicaplok, diambil alih, dan dikuasai oleh perusahaan tertentu. Banyak lahan pertanian yang cukup produktif akhirnya menjadi mati, karena tidak dapat bersanding dengan bangunan industri disekitarnya, yang juga mereproduksi bahan kimia beracun.

Seiring dengan sikap pemerintah yang mengikuti IMF dan Bank Dunia, pengendalian kehidupan ekonomi sepenuhnya di serahkan kepada mekanisme pasar, serta semua paket regulasi yang menghambatnya dicabut satu per satu. Ratusan ribu hingga jutaan orang ter-PHK tiap tahunnya, akibat kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar (BBM), melakukan privatisasi, dan hilangnya bentuk-bentuk perlindungan terhadap pekerja. Sedangkan disisi lain, terdapat jutaan angkatan kerja baru yang sedang menunggu kesempatan dan hanya sedikit sekali diantara mereka yang terserap.

Barisan pengangguran yang diciptakan oleh PHK industrial, maupun yang tidak terserap sama sekali oleh lapangan kerja, terlempar ke jalanan; sebagai PK5, loper Koran, pengemis, tukang parker, kernet, preman, hingga sekedar nonkrong di warung-warung kopi di pinggir jalan, hanya sekedar menunggu keberuntungan.

Perang Ekonomi di Jalanan

Aktifitas ekonomi yang berpusat di jalanan bukan tanpa gangguan, tanpa serangan. Selain di paksa terlibat dalam kompetisi “hukum rimba”; antar supir angkot, antar sesama loper Koran, antar sesama tukang parkir, pengemis, preman, dsb, mereka juga harus di paksa berhadapan dengan perang kekerasan yang dilancarkan oleh apparatus Negara dan pasar. Dalam hal ini, terjadi sebuah peperangan ekonomi antar mereka yang bergantung pada aktifitas ekonomi di jalanan, dengan serbuan ekonomi dari kapitalis menengah dan besar yang disokong oleh pemerintah.

Beberapa pendekatan politik pemerintah, terutama untuk mengatasi masalah social akibat ekonomi jalanan ini, malah berbentuk penghancuran kantong-kantong ekonomi jalanan tersebut, seperti penggusuran, Operasi Yustisia kependudukan (OYK), razia preman, razia gepeng, dll. Menurut Institute for Ecosoc Rights, Jumlah warga yang menjadi korban hasil tindakan penertiban atau penggusuran yang dilakukan aparat pemerintah di wilayah DKI Jakarta sepanjang tahun 2008 dari bulan Januari hingga Juli dapat mencapai sekitar 12 ribu orang. Dari catatan Urban Poor Consortium (UPC), program penggusuran pemerintah akan mengancam setidaknya 1.592.011 jiwa di Jakarta dan 1.962.466 jiwa di seluruh Indonesia. Dari tahun 2000-2005, sedikitnya 95.470 jiwa sudah menjadi korban penggusuran di kota-kota besar di Indonesia. Inilah perang ekonomi di jalanan!