Minggu, 04 Januari 2009

Politik Berdikari: Cukup Sudah Jadi Bangsa Kuli, Bangkit Jadi Bangsa Mandiri

Politik Berdikari: Cukup Sudah Jadi Bangsa Kuli, Bangkit Jadi Bangsa Mandiri


Kewajiban manusia adalah menjadi manusia. [Multatuli]

Yang paling santer kita dengar dari berita-berita di media akhir-akhir ini adalah Jakarta banjir lagi, beras naik lagi. Kemudian pidato SBY meminta maaf kepada rakyat! Pemerintah sudah berusaha maksimal tetapi bencana dan mahalnya beras di pasar di luar kendali pemerintah. “Mestinya kalau sudah gagal ya udah lebih baik MUNDUR,” ujar Rakyat kecil yang kesal mengantri untuk mendapatkan beras operasi pasar.

Problem seperti ini sudah menjadi siklus yang terus menerus terjadi di negeri ini seolah-olah telah menjadi hukum alam yang tidak bisa berubah padahal problem sebenarnya adalah kebijakan yang tidak berpihak. Setiap terjadi perubahan politik yang berganti orangnya saja; pola-pola kebijakannya tetap seperti sebelumnya sehingga semakin mengondisikan massa untuk tidak percaya lagi pada mekanisme kekuasaan seperti ini. Kemiskinan menjadi persoalan fundamental kegagalan pemerintahan SBY-JK. Lebih dari separuh rakyat Indonesia adalah orang miskin. Belum lagi 40 juta orang menganggur. Tidak jelas kapan mendapat pekerjaan. Ironis, Indonesia yang dijuluki ‘gemah ripah loh jinawi’ justru kini mayoritas rakyat harus mengantri nyari beras, di uber-uber petugas trantib karena dianggap penghuni illegal sementara kekayaan alamnya diserahkan ke tangan asing imperialis karena mentalitas penguasanya yang inlander, kuli dan sebagainya. Lihat saja sikap SBY ketika menerima kunjungan presiden AS George.W.Bush: helipad dibuat khusus hanya untuk landasan mendarat helikopter Bush dengan merusak Kebun Raya Bogor. Di bidang ekonomi, Wapres Yusuf Kalla menyampaikan janji di hadapan ratusan pengusaha AS bahwa pemerintah Indonesia menjamin keberadaan perusahaan-perusahaan AS di Indonesia. Artinya jelas: pemerintah menjamin eksploitasi yang terjadi atas bumi Indonesia melalui Exxon-Mobil, Freeport, Enron, Caltex..., dapat terus dilanjutkan. Dalam logika politiknyapun sangat jelas SBY –Kalla dan menteri-menteri ekonomi pro neoliberalnya bersifat reaktif ketika terjadi gejolak terhadap aset—ataupun kelangsungan produksi perusahaan tambang asing di Indonesia. Beberapa UU dibuat untuk memudahkan pencaplokan kekayaan alam mineral tersebut: UU Migas No. 22 tahun 2001, UU sumber daya air, Perpres 36—untuk memudahkan akses pembebasan tanahnya, dan banyak lagi perangkat hukum untuk menfasilitasi imperialisme. Bangsa Kuli bukanlah takdir bangsa Indonesia. Sejarah menunjukkan: penduduk yang mendiami wilayah ini sebelum terbentuk nation/state yang bernama Indonesia punya sejarah kedaulatan ekonomi dan politik. Sriwijaya melakukan aliansi untuk memblokade upaya Mongol—imperialis yang ingin menguasai perdagangan Asia Tenggara dan Soekarno dalam melawan imperialisme mencetuskan Trisakti: mandiri di Bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya. Dalam pidatonya yang bertema TAKARI—tahun berdikari tanggal 17 Agustus 1965, Soekarno kembali mempertegas tentang demokrasi ekonomi Indonesia dan perjuangan anti imperialis untuk menuntaskan revolusi nasional; berdikari di bidang ekonomi dan mandiri di bidang politik bukanlah diktum yang menganjurkan kita untuk mengisolasi bangsa kita dari dunia luar, malah memperluas kerjasama dengan negara-negara non-imperialis. Untuk mewujudkannya, Soekarno membangun kerjasama dalam blok negara-negara progressif yang disebutnya NEFO dalam segala aspek, dan membangun front anti imperialis yang kuat dengan negara-negara Asia-Afrika. KTT Asia-Afrika di Bandung pun mendukung pembebasan nasional negara jajahan melawan kolonialisme, dan kerjasama ekonomi-sosial-budaya yang adil untuk menghancurkan imperialisme. Tapi bagi SBY-JK sekarang, ajang KTT-Asia-Afrika dijadikan ajang seremonial belaka. Indonesia harus belajar menghargai martabat Haiti—negara yang pernah disebutkan termiskin di dunia itu di bawah presiden Jean. B.Aristide berani menolak intervensi ekonomi-politik AS di negaranya. Berdikari, berdiri di kaki sendiri bukan hanya sebagai tujuan tetapi juga merupakan prinsip, cerminan dari bangsa yang berdaulat untuk menata dan mengatur ekonomi nasional untuk kepentingan ekonomi kerakyatan, dan berdaulat dalam menjalankan politik luar negeri yang anti imperialis.Yang selalu dipropagandakan oleh ekonom pro imperialis bahwa membatasi kerjasama—melakukan proteksi adalah gaya ekonomi konservatif yang justru mengisolasi diri dari kemajuan internasional dalam hal tekhnologi, informasi, dan lain-lain. Tidak bisa dipungkiri dalam hubungan ekonomi internasional yang timpang—tidak setara menimbulkan kutub negara-negara imperialis yang menikmati keuntungan dari eksploitasi terhadap milyaran umat manusia di dunia, dan kutub yang kedua negara-negara tertindas, negara dunia ketiga yang selama ratusan tahun diposisikan sebagai penyedia bahan baku dan menjadi pasar bagi kepentingan imperialisme untuk melipatgandakan keuntungan. Indonesia sebagai salah satu negara miskin yang dieksploitasi oleh negara-negara imperialis harus memilih bekerjasama dengan negara-negara miskin dalam hubungan yang setara dengan menciptakan lembaga baru untuk kerjasama ekonomi alternatif di luar skenario WTO dan negara-negara imperialis. Kini saatnya bagi kita, Rakyat Indonesia, bangkit menjadi bangsa mandiri, merdeka dan berdaulat dari tekanan asing tanpa menghilangkan prinsip-prinsip perjuangan internasionalisme dengan menggantikan kekuasaan rejim antek imperialisme dengan rakyat yang berkuasa. Momentum pemilu 2009 menyediakan basis legal untuk semua itu. Memunculkan kekuatan politik alternatif bagi massa rakyat hari ini adalah sama mendesaknya dengan perjuangan mempertahankan hak-hak ekonomis rakyat yang dicaplok Neoliberalisme. Jalan untuk itu adalah program penghapusan utang luar negeri yang selama ini menjadi alat-efektif untuk memaksa Indonesia menjalankan syarat-syarat ekonomi yang ditentukan imperialis; menasionalisasi industri pertambangan asing sebagai Jalan untuk mendepak kepentingan paling utama dan ladang paling subur keuntungan imperialis; dan membangun industrialisasi nasional yang bermakna untuk melepas ketergantungan terhadap imperialis dan terutama memajukan produktifitas nasional untuk kesejahteraan rakyat. Bumi, udara, air dan seluruh kekayaan alam di dalamnya yang potensial harus dikelola untuk kepentingan dan kesejahteraan Rakyat. Di lapangan politik, menyokong politik anti imperialisme—dengan prioritas menggusur kekuatan politik borjuis yang rela menjadi pelayan setia imperialisme di Indonesia. Program-program inilah yang kemudian menjadi spirit dari politik berdikari, mengobarkan perlawanan untuk melawan imperialisme. Begitulah juga nama Koran ini: BERDIKARI.

Tidak ada komentar: