Senin, 19 Januari 2009

Cerita Sampul (Madilog)

Manifesto Sang Revolusioner (Straktat Filsafat dari Cililitan)

Bagaimana Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika lahir, satu-satunya sumber tertulis tampaknya cuma apa yang dicatat sendiri oleh pengarangnya.

"Ditulis di Rawajati, dekat pabrik sepatu Kalibata, Cililitan, Jakarta. Di sini saya berdiam dari 15 juli 1942 sampai dengan pertengahan tahun 1943, mempelajari keadaan kota dan kampung Indonesia yang lebih dari 20 tahun ditinggalkan. Waktu yang dipakai buat menulis Madilog ialah lebih kurang 8 bulan, dari 15 juli 1942 sampai dengan 30 maret 1943 (berhenti 15 hari), 720 jam, ialah kira-kira 3 jam sehari," tulis Tan Malaka.

Berarti Tan Malaka menulis naskah itu di tengah-tengah masa pendudukan represif Jepang. Dia mengenang bagaimana dia menulis "di bawah pesawat Jepang yang setiap hari mendengungkan kecerobohannya di atas pondok saya" dan membawa naskah Madilog bersembunyi ke Bayah Banten dan ikut pergi mengantarkan romusha ke Jawa Tengah.

Bahkan, menurut Tan Malaka, naskah itu turut bersamanya ketika dia ditangkap di Surabaya gara-gara masalah Tan Malaka palsu. "Bahkan hampir saja Madilog hilang," katanya, tanpa menjelaskan lebih lanjut duduk perkaranya.

Tapi, dapatlah disimpulkan bahwa penulisan Madilog di bawah keadaan darurat, bahkan semua referensinya hanya mengandalkan ingatan, yang tampaknya juga memanfaatkan teknik "jembatan keledai". Hal ini tentu jauh dari umumnya kemewahan para ilmuwan yang menulis di perpustakaan kampus yang sangat lengkap.

Meski demikian, bukan berarti traktat filsafat ini bisa dianggap sepele. Dua ahli filsafat Indonesia, Frans Magnis-Suseno dan Ignas Kleden, menilai karya Tan Malaka ini sebagai sebuah pemikiran yang patut dipuji.

Ignas Kleden menilai Madilog sebagai traktat yang menguji paham materialisme, dialektika, dan logika dengan "cara yang sama luas dan sama ketatnya" dengan The Open Society and Its Enemies karya Karl Popper dan Die Materialistische Geschichtsauffassung karya Karl Kautsky.

Madilog adalah sebuah metode berpikir, sebuah epistemologi yang menjadi landasan yang, menurut Tan Malaka, diperlukan bagi kaum proletar Indonesia untuk mencapai pencerahan dan "merebut kekuasaan dari imperialisme Belanda" alias Indonesia merdeka.

Traktat ini memang berangkat dari keprihatinan Tan Malaka terhadap para proletar yang belum menyadari kekuatan tersembunyi kelasnya. Ini semua terjadi karena "Mereka masih tebal diselimuti ilmu buat akhirat dan tahayul campur aduk," katanya.

Maka, traktat ini dimulai dengan paparan tentang "logika mistika" atau logika yang berdasarkan rohani, yakni kepercayaan kepada segala hal yang gaib, bahwa kekuasaan terletak pada para dewa. Cara berpikir yang berdasarkan logika ini akan membuat manusia hanya bergantung pada yang mistik, enggan berubah. Dengan cara seperti ini mustahil revolusi terjadi atau perubahan diwujudkan.

Untuk mengatasi kebuntuan logika mistika ini, Tan Malaka mengajukan tiga senjata: materialisme, dialektika dan logika.

Namun, seperti dicatat Frans Magnis-Suseno, materialisme Tan Malaka bukanlah pandangan filosofis bahwa segala yang ada itu materi atau berasal dari materi, melainkan keterarahan perhatian manusia pada kenyataan. Maka, "Materialisme berarti: mempelajari realitas bendawi dengan mempergunakan pendekatan ilmiah," kata Magnis.

Dari tujuh bab dari Madilog, dua bab khusus membahas masalah ilmu pengetahuan. Di sini Tan Malaka mengurai bagaimana ilmu pengetahuan bekerja, apa itu bukti, apa hukum alam itu, dan macam apa ilmu pengetahuan menarik kesimpulan dengan induksi, deduksi, dan verifikasi.

Seluruh paparan itu dilengkapinya dengan seabrek contoh dari khazanah berbagai ilmu, seperti fisika, matematika, biologi, dan astronomi. Hal terpenting dari semua uraian ini adalah bahwa materialisme atau ilmu pengetahuan akan membuka pikiran manusia untuk melangkah lebih maju, menciptakan alat dan mesin, dan memahami kodrat alam yang berguna bagi kehidupan.

Tahap selanjutnya Tan Malaka membawa pembaca menerobos lebih dalam lagi dalam memahami dunia. Kali ini ilmu pengetahuan dan logika yang dipakainya tak memadai lagi dan orang butuh dialektika.

Dalam paparannya tentang dialektika, Tan Malaka masuk pada uraian Karl Marx dalam membahas tesis-tesis Feuerbach. Kita tahu, di sinilah Marx menyatakan seruannya yang terkenal, bahwa para ahli filsafat sudah memahami dunia, tapi yang terpenting adalah mengubahnya.

Boleh jadi traktat filsafat Madilog Tan Malaka ini sangat gemilang pada masanya, tapi kehadirannya kini dengan diterbitkan, misalnya, oleh Pusat Data Indikator pada 1999, tentulah menjadi kuno, meskipun perlu sebagai sebuah dokumen.

Sebagai sebuah kitab filsafat, dia sama nasibnya dengan buku-buku Karl Marx dan para muridnya. Sebagai sebuah gagasan, dia sama tertinggalnya dengan gagasan yang diusung para tokoh itu. Dan, nasib Madilog jadi lebih buruk karena dia tak sempat tumbuh wajar dan berbaur dengan wacana intelektual lain di masa Indonesia modern, sehingga peluangnya untuk hidup kembali dan mungkin berkembang lebih jauh seakan bertemu tembok dingin Orde baru.

Namun, sumbangan terpenting dari buku ini adalah ajakan Tan Malaka untuk berpikir rasional, ilmiah, dan meninggalkan kepercayaan atas takhayul yang mengukung--yang nyatanya masih hidup di sebagian masyarakat di Nusantara. Yang patut dicatat pula adalah gairah Tan Mala yang meluap-luap untuk mendorong rasionalitas itu menuju satu titik: kemerdekaan.

Oleh : Fahruddin Fitriya